CERMIN (Prolog):





Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi pembaca Blog Saya.
kali ini saya WN, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari
dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.

cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara. Dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??

cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,

pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal

semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.


ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!







Sabtu, 29 Juli 2017

AKU TIDAK GILA! | CERMIN Part 11

Aku dimasukan kedalam mobil berwarna silver tidak jelas ini mobil milik siapa, sebelumnya aku sudah disuntik oleh dokter joko yang membuatku lemas dan setengah sadar, ada dua orang yang mengapitku. Masing-masing memegangi lenganku dengan kuat.. sisa-sisa kesadaranku mulai menurun saat itu. Tapi aneh, murti nampaknya tidak terpengaruh oleh suntikan obat yang mungkin adalah obat penenang ini. namun apa daya, serasa obat yang masuk kedalam aliran darahku mampu melemaskan otot dan tenaga dari wisnu murti..

“Wisnu!!, aku gak bisa gerak! Kenapa ini? kita mau dibawa kemana?”

“rumah sakit mur!! Kita mau dibawa kerumah sakit!”

Aku dan murti melawan, mencoba sekuat tenaga untuk menjaga diri tetap sadar, situasi ini terjadi akibat ulahku yang kabur dari rumah. Membuat cemas sekeluarga dan membuat ayahku yang bertipikal keras, marah besar..

“Kamu sudah keterlaluan wisnu!” kata bapak sambil memegangiku saat aku disuntik paksa oleh dokter joko..

Aku menoleh ke luar jendela, mobil keluargaku sudah berada diluar garasi. Ayah, Ibu, dan Nanda masuk kedalamnya kemudian mengikuti mobil yang kutumpangi ini yang sudah berjalan pelan.

“wisnu tolong bertahanlah, jangan sampe tidur!” pekik murti yang tidak bisa berbuat apapun selain bicara dari dalam kepalaku.

“aku mencoba mur” kataku dengan panik.

Pengaruh bius itu sangat kuat, terasa mataku sangat berat dan serasa kepalaku berkunang,namun murti memberi dorongan agar aku tetap sadar untukmelihat situasi yang akan wisnu murti hadapi.
--
Sebuah bangunan bercat putih yang tinggi menjulang, pagarnya dikelilingi kawat berduri. Aku didudukan disebuah kursi roda dan dibawa masuk lewat pintu depan yang memiliki kaca yang sangat besar, kutoleh sekelilingku dankulihat ibu yang tengah menahan tangis sambil berjalan dibelakangkursi roda yang entah akan membawaku kemana...

“ini demi kebaikanmu wisnu, jangan kamuanggap inisebagai hukuman. Sungguh ayahdan ibu hanya ingin melihatmu pulih” kata ayah yang berbicara sambil mendekap telapak tanganku.

Aku memutar pandangan, melihatku berada di posisi tidur disebuah ranjang didalam sebuah ruangan yang terlihat asing,

“sepertinya kita berada di ruang isolasi” pekik murti.

“maafkan ayah dan ibu wisnu.. untuk sementara ini kam harus tetap disini” suara ibu yang bergetar terdengar samar karena kesadaranku yang juga ikut buyar..
**
Aku terbangun dengan kepala yang terasa berputar saat kugerakan sedikit badanku dan pusing itu kembali bersarang.
Ahhhhh.. kuketuk kepalaku sambil memandang kiri kanan..

“shitt... sebuah bangsal” gumamku pelan, disinilah aku sekarang, di mimpi buruk yang benar-benar tidak ingin itu terjadi..

Rumah sakit Jiwa.. ya resmi sekarang aku menjadi pasien. Kuangkat badanku dan duduk di ranjang besi itu..

“Mur.. gimana caranya biar kita bisa keluar dari sini?”

“Mur...” ulangku bicara pada Murti yang tidak menjawab...

“Murti!!!” sekali lagi kupanggil dia dengan lebih keras namun sama saja, tidak ada jawaban dari adikku.

“Murti jawab!! Jangan aneh-aneh!!!” kataku sambil mulut berucap dan berteriak..

Kupukul-pukul kepalaku berusaha membangunkan Murti yang mungkin sedang tertidur didalam sana.

“Murti!!!”sekali lagi aku berteriak sekencang yang aku bisa, namun sekali lagi tetap tidak ada jawaban dari murti yang bersarang ditubuhku.

Rasa takut itu menjalar, keringat dingin mulai menganak sungai di pagi yang dingin itu.. setetesair keluar dari mataku meluncur menuruni pipi dan terkecap masuk kedalam mulut. Aku meringkuk di pembaringan dan berteriak memanggil Murti adiku yang entah kemana..
18 tahun hidup bersama dan kini merasa aku dipisahkan dari bagian hidupku..
“Murti!!!”

--
Klek... hendle pintu berwarna silver itu diputar, dari baliknya muncul seorang barbju putih membawa nampan berisi makanan sekilas kulirik dia yang tersenyum kepadaku, dan sedetik kemudian kembali kubenamkan kepalaku lagi dari kedua tanganku yang berpangku diatas lutut..

“apa merasa kurang nyaman mas? Boleh saya bantu?”kata orang itu sambil meletakan nampan dan duduk disampingku..

Kutegakan kepalaku segera dan kulirik wanita itu dengan tajam.

“ya.. kembalikan adikku!!” bentaku kepadanya.

Lagi-lagi dia hanya tersenyum dan menyodorkan nampan berisi bubur,buah pisang dan segelas teh. Bebrapa pil ditaruhnya diatas piring kecil.

“mas bakal ketemu sama Murti lagi, tapi sebelumnya sarapan dulu ya”

Praaak!!!! Kutampik nampan itu membuat isinya berhamburan di lantai.
“aku gak butuh makan! Apalagi pil-pil itu!! Sekarang kembalikan adikku!!” teriakku kepada perawat yang terlihat gegap karena mungkin takut oleh sikapku yang meledak-ledak.

“mas, kalau mau bertemu adik mas harus minum obat, tapi makan dulu ya.. biar saya ambilkan lagi sarapannya” katanya berusaha mengelak dan berjalan menjauh dariku yang mulai berdiri.

“mau kemana!” kataku sambil menyaut pergelangan tangannya..

“Mas sabar dulu, nanti biar kami bantu mas” katanya dengan panik.

“Aku gak butuh bantuan kalian! Aku Cuma mau Murti balik, dan pulang dari sini!” teriaku tepat diwajahnya.

Tampaknya suara piring pecah dan teriakan amarhku membuat beberapa orang berbaju putih berhamburan masuk keruangan ini, mereka berkerumun, memegangiku dan memintaku untuk tenang. Kuberusaha berontak namun memang badanku yang kecil tak sebanding denganorang-orang itu. Mereka menyeretku keranjang membaringanku, aku teriak sejadi jadinya mengumpat agar dilepaskan untuk bertemu murti kemudian di pulangkan..

Tapi apa? Aku malah diikat diatas kasur, tanganku serasa ditusuk sesuatu, jarum suntik besar menancap dilenganku, mengalirkan cairan berwarna kecoklatan masuk kedalam pembuluh darahku dan sensasi lemas menjalar kembali ketubuhku setelah beberpa lama aku diikat disini..

“haah... haaahhh..” nafasku terengah, jantungku memompa darah dua kali lebih cepat.. dan semua gerakan sia-siaku mulai melemah...

Kenapa?, apa aku salah? Apa murti juga bersalah? Atau kami bersalah? Seingatku aku tidak pernah berbuat dosa kepada mereka, kenapa kami diperlakukan seperti ini?
Kepalu terasa pusing lagi, dan pertanyaan “Kenapa” terus berputar didalamnya. Apakah hidupku bisa lebih sial lagi? Aahhhhh untuk kesekian kalinya aku merasa semuanya blur dan pandanganku gelap..
**
Sudah 2 hari aku disini, meringkuk di sudut kamar yang sengaja dibuat redup sinar lampunya oleh mereka. Takut, sedih dan frustasi semua perasaan itu bercampur membuatku semakin depresif. Sudah dua hari bubur yang mereka suguhkan tidak tersentuh, hanya sesekali kuteguk air putih itu dan obat itu tiap kbuang akan membuat mereka menyuntiku lagi. Aku hanya tidur tiap kali obat-obat itu dialirkan secara paksa ke dalam tubuhku, selebihnya aku hanya duduk termangu. Berusaha memanggil Murti yang entah dikemanakan oleh mereka.
‘Kamu adik yang menyusahkan Mur, ayo kembali, dan kita pergi dari sini” gumamku pelan.
Seberkas cahaya masuk kedalam rung 3 x 4 itu, dan lagi-lagi wanita itu yang datang. Tak bosan juga dia kesini membawakanku makanan yang sudah jelas kutolak.

“mas Wisnu sudah dua hari disini, dan harus makan. Kalau gak nanti lama lho pulangnya” kata wanita itu sambil duduk ditepi ranjang, disampingku yang terikat erat agar tidak mengamuk.

“justru disni aku malah jadi sakit! Sebelumnya aku gakpapa mbak! Apasalahku dan Murti?”

Wanita itu tersenyum lembut, entah berapa umurnyamungkin 4-5 tahun diatasku.
“sebenarnya yang bikin mas wisnu gak bisa ketemu Murti itu dari obat yang disuntik lho,coba kalau mau nurut pasti Murti nanti bisa diajak ngobrol lagi” katanya pelan sambil tersenyum kearahku sekali lagi.

“benarkah itu?” tanyaku menyelidik

“yaa, bukankah setiap disuntik akan jelas perbedaan yang dirasain mas Wisnu?”

Kudiam, dan berusaha berpikir. Mungkin yang dikatakannya ada benarnya juga..

Kubuka mulutku dengan ragu, saat perawat itu menyuapkan bubur kedalam mulutku.
Tidak enak, seperti makanan di rumah sakit pada umumnya, dan setelah selesai dia menyodorkan pil-pil itu, dimasukanya ke mulutku dan dibantunya aku menenggak air putih untuk membuat pil itu terseret masuk keperutku..
“jauh lebih nyaman kan? Kalau mas mau nurut pasti bisa cepet pulang. Saya permisi dulu kalau ada apa-apa langsung pencet tombol ini ya mas” katanya sambil pamit dan berlaru..

Aku ditinggal lagi, kepalaku mengangguk, yaa akan kucoba bersikap kooperatif dengan mereka akan kubuktikan apakah benar Murti akan kembali lagi. Batinku dalam hati sambil memuntahkan pil yang aku sembunyikan dibawah lidah.

Teman, betul sekali aku masih tidak sudi mengonsumsi benda menjijikan itu, segerasaja kukeluarkan dari mulutku dan kusembunyikan dibawah lipatan kasur..
“Murti, bersabarlah,, kita akan keluar dari sini”
Malam sudah larut, aku tidak tau jam berapa sekarang,dan aku juga hampir lupa ini hari apa yang bisa kuingat adalah aku meninggalkan rumah pada hari minggu, dan mungkin ini adalah hari keenam berada disini. malam itu aku melanjutkan berpura-pura minum obat, dan aku sudah berbaring lagi diatas ranjang..

Kututup mataku dan suara lembut yang kutunggu akhirnya benar muncul..

“Wisnu.... wisnu ....”
Ucapnya pelan. Tak salah lagi, itu adalah Murti...

“Murti?”

“iya siapa lagi,syukur aku bisa balik lagi, jangan minum obat itu, dan jangan sampai kena suntik lagi nu” seru murti.

“ya ya aku tau, kemana kamu pergi mur?? Baru kali ini aku kepisah sama kamu”

“aku gak tau, aku gak inget. Yang terpenting sekarang jangan minum obat itu lagi” kata Murti dengan gaung suara yang mulai lebih jelas terdengar..
--
Hari-hari selanjutnya berjalan, memasuki minggu ketiga disini. kuikuti sistem rumah sakit disini agar tidak terjadi masalah yang memaksaku kembali berpisah dengan murti. kuminum obatku 3 kali sehari meskipun itu tidak benar-benar kuminum, paling tidak itu cara ampuh agar aku tidak disuntik. Setiap 3 hari seorang psikiater datang memberikan terapi namun kutamping kalimat yang keluar dari mulutnya, suaranya terasa mental di telingaku dan sama sekali tidak kuindahkan..

Dan pagi itu untuk kali pertama aku disini aku diizinkan untuk keluar ruangan.. aku duduk di pinggir halaman, dibawah pohon bugenfil dengan bunga yang disukai Ibuku, bunga itu berterbangan di hembus angi kelopak tipisnya berceceran mengotori jalanan seputaran halaman berumput manila itu.

"bisa kah kita keluar dari sini? " kata Murti dari dalam kepalaku,

"Meskipun bisa apakah kamu yakin keadaan akan membaik mur?, perlakuan Ayah dan Ibu atau bahkan mungkin juga nanda akan berbeda setelah kita dirawat disini, belum lagi kita pasti akan mendapatkan perlakuan lebih tidak menyenangkanjawabku sambil menghela nafas panjang.

suasanana disana lenggang, namun tidak sepi juga orangan-orang dengan pandangan mata kosong juga namapak sedang termangu di halaman ini ditemani beberpa perawat. apakah mereka juga sama dengan kita mur? orang yang tersingkirkan di komunitas masyarakatnya sendiri. kulihat seorang yang kutaksir berumur 40an tahun sedang meracau tidak jelas, entah apa yang dia bicarakan tapi sayup aku mendengar dia memanggil nama seseorang. mungkin keluarganya, istri atau anak aku tidak tau yang jelas nama wanita.

"mungkin kita yang akan gila jika disini terus menerus" ucap Murti sambil mengambil alih tubuhku.

kakiku melangkah, dan kepalaku mendongak ke sekeliling mencoba melihat seisi rumah sakit ini dengan pandangan menerawang.

"jangan pernah berpikir itu" kataku yang paham apa yang dipikirkan Murti. dia baru saja mengandaikan cara kabur yang paling tepat dari sini.

hawa hangat dari matahari pagi yang lama tak menyentuh kulitku membuat tubuhku menghangat, nyanyian kecil dari burung gerja yang hidup berkelompok sedikit memberi hiburan tersendiri buatku yang sudah cukup lama disini.

"bahkan Ayah dan ibu sama sekali tidak menjenguk" gumamku dalam hati.

"mungkin dilarangoleh dokter" balas Murti sekenanya.

telingaku mendengar langkah kaki dibelakangku, membuat kepalaku yang dikendalikan Murti menoleh.

"apa sudah merasa lebih baik mas Wisnu?" kata perawat itu, dia adalah perawat yang sama sejak kali pertama aku disini.
Murti hanya menggeleng saja, dia tidak ingin berkomentar banyak yang pada akhirnya hanya akan membuat situasi semakin sulit.

"apa sudah waktunya untuk meminum obat lagi?" hanya itu jawabanya setelah beberapa saat membisu.
Wanita itu tersenyum kemudian mengajaku untuk duduk di sebuah bangku beton..

“belum waktunya minum obat mas, ada tamu ingin bertemu dengan mas Wisnu” jawab dia dengan lembut.

“apakah Ayah dan ibuku kesini?” tanya Murti tak acuh.

“bukan Mas, seorang perempuan. Mungkin teman mas Wisnu. Silahkan tunggu sebentar” jawab perawat itu sambil beranjak.

Perawat itu pergi, dan tak berapa lama kemudian kembali. Dari jarak 100 meter mataku melihat seorang gadis berada disampingnya.
Jelas kalian mengenal siapa dia, yaa.. betul sekali.

“putri” gumam murti dengan sendirinya.

Segera saja jantungku terasa berdetak lebih cepat, diikuti perasaan yang berdesir seolah darahku meloncat-loncat kegirangan dari dalamnya..
Gadis berkerudung merah jambu itu tersenyum dengan senyumnya yang khas, membuat lesung pipinya terlihat dari sini..

Aku merasakan gejolak itu, gejolak perasaan dari Murti yang terjadi hanya saat berjumpa dengan putri..

“Wisnu ....” hanya itu yang terucap dari bibir mungil Putri, dia menyalami tanganku dan kemudian dia genggam dengan kedua tangannya. Wajahnya dia arahkan tepat di wajahku dan memandangku dengan tatapan mengiba, matanya yang jernih semakin berkilau karena dia mulai berkaca-kaca.

“kenapa bisa sampai begini ...” katanya sambil terisak....
---

Malam itu Murti belingsatan diatas kasur, sama sekali matanya tak mau terpejam, pertemuan kami dengan putri tadi yang membuatnya begitu. Aku tau Murti menyukai Putri, perasaannya juga ikut aku rasakan, sensasi gelisah bercampur senang, saat melihat putri tadi sudah memberikan bukti yang lebih dari cukup bahwa Murti benar-benar menyukainya.

Aku pun sama, aku juga menyukai gadis baik itu. Tapi entahlah Murti jelas memiliki rasa ketertarikan lebih besar dari pada aku..
Namun malang sekali buat Murti....

Ternyata kedatangan Putri tadi tak hanya untuk menjenguk, melainkan juga untuk pamit....

“Wisnu.. Murti ... aku gak tau mesti bilang apa, tapi minggu depan aku harus pergi... Ayahku dapet panggilan kerja mendadak.. buat sementara ini aku masih disini, tapi mungkin Cuma sampai kenaikan kelas” begitu katanya dengan nada suara yang menurun...

Otaku kembali memutar ingatan itu, saat pagi bersama putri.. terus berulang-ulang ingatan itu diputar dan dibayangkan oleh Murti sampai tiba-tiba dia berdiri dengan cepat..

“Murti jangan lakukan itu!! Kita akan dapat masalah yang lebih besar dati ini!!” pekiku saat aku tau maksud murti hendak kabur..

“Aku tidak gila! Aku tidak mau disini !!”


CERMIN Part 10 CERMIN Part 12
Share:

0 komentar:

Posting Komentar