CERMIN (Prolog):





Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi pembaca Blog Saya.
kali ini saya WN, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari
dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.

cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara. Dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??

cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,

pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal

semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.


ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!







Selasa, 11 April 2017

BERTEMU DENGAN DAJJAL | CERMIN Part 8

Aku berdiri didepan kelas, berusaha tegar meski kaki terasa gemetar.. aku seperti kembang lotus yang tergoyang namun berusaha tenang diatas air yang bergelombang tak seimbang. Kelas ini riuh setelah dua kali empatpuluh lima menit yang lalu membisu akibat kalimat ajaib pak Johan. Dan sekarang, penuh dengan suara tepukan tangan dan gelengan kepala yang menyiratkan rasa tidak percaya dari tigapuluh satu orang didepanku ini.

Senang bukan main yang kurasa, baru kali ini ada yang mengapresiasi dan memujiku begitu ikhlas selain ibuku..

Aku kembali duduk ke bangku miliku, dan sedetik kemudian ujung lengan seragamku di terasa ditarik.

“kamu kok gak pernah cerita kalo jago musik” kata Putri dengan antusias.

“lha kamu gak pernah tanya” jawabku dengan tenang...
--
Hari itu berjalan lancar, seharian tidak ada hal yang wisnu murti keluhkan. Sampai bel terakhir berbunyi senyum tak mau lepas dari bibirku..
Aku berjalan pulang, tak sabar rasanya mendengar komentar ibu mengenai hari ini.
Jalanan didepan sekolahku sudah di aspal meskipun dengan seadanya, aspal yang digunakan untuk memplester jalanan ini tentunya bukan kualitas terbaik, entah dari mana pemerintah mendapatkannya, yang jelas akan cepat hancur, saat hujan mengguyur.

Tak banyak hal menarik disini, kalian akan cepat bosan jika berkunjung. jauh dari kota , tidak ada cafe, Tidak ada bioskop, tidak ada mall. Hanya beberapa bangunan tua berjejer dan rumah warga yang berjarak jarang-jarang, selebihnya adalah pohon-pohon kelapa dan abasia yang tumbuh dimana-mana. Pemandangan jamak lain adalah sawah yang luas, lebih luas dari pada lapangan bola manapun yang pernah kalian lihat.. aku tinggal desa, yang berjarak 40 kilometer dari kota. Tempatnya berada dibawah kaki bukit, yang terbentang di tengah jawa. bukan jawa tengah! Hanya kukira-kira sendiri berada pada posisi tengah jawa, yaa memang betul sih kalau daerahku ini dekat dengan jawa tengah, namun kurang tepat kusebut begitu karena menurut otonomi daerah tempatku masuk Provinsi sebelahnya jawa tengah. Bukan Jawa Barat.... JawaTimur juga bukan bung!
Silahkan kalian perkirakan sendiri saja ya.. kalian sudah tau maksudku tentunya.

Tidak terlalu jauh jarak rumah dari sekolah, biasanya sepeda adalah pilihan utama untukku pulang pergi, tapi karena insiden tempo hari terpaksa aku berjalan. Kurogoh hanphoneku dan segera kumasukan lagi kedalam saku karena melihat sinyalnya yang hanya satu bar.
Memang hanya beberapa operator selular yang bisa meringsek ke kampung ini...

Kususuri jalanan itu, sesekali kupercepat langkahku untuk menghindar terik matahari dengan berlindung pada bayanga pohon pohon jati yang mulai meranggas di tengah kemarau ini..
Beberapa anak yang mengendarai motor melewatiku dengan menggemborkan sepeda motornya. Menatapku dengan sinis sambil jari tengahnya mengacung kearahku..

“hiraukan mereka Mur” kata murti dari dalam kepalaku..

“yaa, aku tau” jawabku kalem, sambil terus berjalan menafikan mereka yang tempo hari menghajarku habis-habisan..

“ting ting ting” sebuah bunyi berdenting membuatku menoleh, dan disanalah dia. Putri sedang tersenyum lebar diatas sepeda merah jambunya..

“mau kamana nu?” tanya dia

“mau ke mekah” jawabku dengan terusberjalan..

“ha? Beneran? Jalan kaki? Ngapai ke mekah?” tanya dia yang buru-buru menuntun sepedanya ke sampingku.

“kamu percaya put?” tanyaku dengan heran.

“gimana sih? Kan kamu yang bilang” jawabnya dengan menggerutu.

“nu ...”

“apa put?”

“mau kemana?”
“pulang lah, gitu aja pake ditanyain sih put” jawabku dengan sedikit sewot karena kepolosan anak ini.

“hehe nah tinggal jawab gitu aja kok repot sih nu” ucapnya sambil membetulkan letak jilbabnya.
--
Entah angin apa yang membuat putri menuntun sepedanya dan berjalan denganku, dia lempar pandanganya ke hamparan sawah yang mulai menguning yang dilatari perbukitan tinggi yang berderet memanjang seperti great wall yanng yang ada di china.
Setiap kali angin berhembus menerpa wajahnya dia pejamkan mata untuk sebentar dan dihirupnya nafas dalam, seolah sedang menikmati aroma harum dari melati liar yang tumbuh rimbun di kanan kiri jalan sebagai pagar hidup.

Sejenak kupandangi wajahnya. Teduh dan damai, seolah dia tidak pernah memiliki masalah dalam hidupnya yang sempurna. Tak seperti aku teman, yang sejak lahir diberi masalah.. aku yang lahir cacat tanpa tubuh .. dan entah apakah aku layak disebut lahir, karena aku muncul tanpa dibarengi fisik atas kepunyaanku sendiri.

Masih belum kuberanjak dari wajahnya yang mulai merekahkan senyum, dari samping kulihat matanya yang terpejam memperlihatkan bulu mata yang melengkung nan indah..

“nu, tau tempat yang pemandanganya bagus disekitar sini?” tanya dia..

Aku diam sebentar dan membayangkan salah satu lokasi favoritku.

“ada, kalau kamu mau bisa aku tunjukin..”

“dimana nu?”

“disana” jawabku sambil menunjuk sebuah bukit kecil yang nampak rimbun dengan pepohonan cemara dan pinus...

“aku sebut tempat itu Sarang” kataku pelan.

**
“sarang?” ucap putri dengan dahi yang berkerut samar.

“udah ayo kesana, deket kok” ujarku dengan mempercepat langkah kakiku...

“nu, naek sepeda aja. Tapi kamu yang boncengin ya. Hehe” katanya dengan suara memanja.

Kuiyakan tawaranya, dan duduk pada sedel depan dan mulai mengayuh sepeda cewek itu. Menyusuri jalanan yang mulai menurun.. tak hentinya putri berkomentar mengenai tempat ini yang dikatanya indah, rupanya sudah bosan dia dengan asap dan bangunan tinggi dari pabrik yang menjamur di tanah asalnya di daerah bekasi. Ya memang harus kuakui jika tempat ini akan memberikan hiburan tersendiri bagi orang yang berasal dari kota.
Jalanan yang menurun membuat terpaan angin semakin lembut menyentuh wajahku.
Guguran serbuk sari pohon jambu air dan rontokan kelopak bunga bugenfil yang keunguan yang terbawa angin membuatku seolah sedang mengunjungi festival Hanami pada bulan oktober.

Kuminta dia turun saat jalan mulai menanjak dan aspal tak lagi menyentuh kawasan itu, hanya setapak kecil dari jalan yang masih berupa tanah dengan pembatas rerumputan gajah di kanan kirinya. Gemericik air yang mengalir sebagai urat nadi irigasi persawahan terdengar samar oleh suara putri yang mengajaku ngobrol..

Setelah bebreapa menit akhirnya kami sampai, disebuah tempat rahasia yang kusebut sarang.. ini hanyalah sepetak tanah lapang di bukit kecil di dekat area perkebunan cengkeh yang berbatas hutan konservasi milik BKSDA, secara kepemilikan tenah disini adalah milik keluargaku, hanya saja belum dikelola. Sebuah gubug kecil berdiri diatasnya, terbuat dari anyaman bambu dan pelepah daun kelapa sebagai atapnya.

Tidak ada rumah disekitar sini, barang sekali dua kali beberapa orang lewat untuk mencari pakan ternaknya. Tempat ini merupakan tempat yang sering kukunjungi, untuk menyendiri dan sembunyi, entah dari apa. Sering juga kuhiraukan peringatan orang-orang tentang beberpa rumor negatif mengenai tempat ini, sama sekali tidak aku gubris.

“kamu suka?” tanyaku pada putri yang memutar pandangan ke segala penjuru, menikmati setiap jengkal panorama yang disuguhkan alam..

“suka banget nu..” katanya dengan memandangku..
Ada perasaan aneh berbarengan dengan kami yang saling memandang.
Hangat... berdesir... menyenangkan, jantungku terasa berdebar kencang. Seperti hormon adrenalinku meluncur cepat membawa sensasi aneh yang melewati jantungku, serasa seperti aliran sungai progo yang deras saat hujan mengguyur Adikarta.

Kami duduk digubug itu, membicarakan beberapa hal yang sepela sampai bunyi gemeresak di semak-semak memancing rasa ingin tau putri..
Rerumputan ilalang itu bergoyang, dapat dipastikan bahwa ada mahluk hidup yang sedang berjalan diantaranya. Putri yang serba penasaran segera menhampirinya dan mulai menyibak rerumputan setinggi lutut itu. Sebenarnya aku was-was juga karena konon tempat ini “berpenghuni”, kamu tau kan istilah angker... ada hal klenik yang membuat tidak ada warga berani berlama-lama disini karena katanya ada sosok danyang berupa ular raksasa sebesar batang pohon kelapa yang sering muncul. Itulah alasan kenapa tempat ini begitu sepi.

“put, aku rasa itu bukan ide yang bagus. Kita balik aja yuk” bujukku kepadannya.

“bentar deh nu, kayaknya aku denger sesuatu disini” seru putri sambil mengangkat roknya sampai sebatas lutut dan berlari ke tengah rerimbunan pinus..

“put! Tunggu!” teriaku dengan pontang-panting mengejarnya..

Gadis itu lincah sekali untuk ukuran anak kota, mungkin akan lain cerita jika mengetahui gosip tentang tanah angker ini..
Putri berjongkok seperti sedang mencoba mengintip sesuatu disela sisa pohon mahoni yang ambruk dan sudah termakan rayap.

“put!, disini masih banyak ular! Jangan aneh-aneh” kataku sambil memegang bahunya.

Aku tidak tau apakah memang gadis ini memiliki gangguan pendengaran atau karena kepolosanya yang seperti anak-anak membuatnya tidak mendengar nasihatku dan malah merogoh lubang dari sela akar pohon tumbang itu..

“naaaahh nu dapet!” katanya sambil mengobok-obok lubang sedalam lengan itu dan menarik sesuatu dari dalamnya...

“ha??”

Itu adalah anak felis bengalensis. Orang jawa menamainya kuwuk, atau juga biasa disebut blacan.. seekor kucing hutan yang sudah langka berhasil ditangkap putri, anak kucing itu meronta, memohon dilepaskan, berusaha berkelit dengan menggigit dan mencakar, namun putri lebih lincah dengan memegang belakang kepala binatang liar itu, sampai akhirnya ia menyerah.meringkuk ketakutan dalam dekapan tangan putri.

“nu... kasian banget dehh” kata putri sambil menunjuk muka kucing hutan itu..

“loh itu mukanya kenapa?” tanyaku heran karena melihat torehan luka di wajah anak kucing yang mungkin baru berumur beberapa minggu itu..

“ gaktau nu, kita bawa pulang yayaya. Biar aku rawat, ini bisa infeksi kalo dibiarin” kata putri merajuk..

Aku tidak langsung menjawab, kutoleh kanan kiri sambil menunduk, berusaha mencari induk kucing ini, untuk ukuran kucing sekecilitu jelas belum di lepas sapih oleh induknya, dengan kata lain induk kucing hutan itu mungkin berada tak jauh dari lokasi ini..

“nu!, mau kemana?” tanya putri sambil menggendong dengan hati-hati kucing malang itu.

“nyari induknya, mungkin lagi nyari makan. Blacan itu buka hewan peliharaan put, dia itu hewan buas. Bukan kucing persia yang bisa kamu ajak main.. lagi pula kita gak boleh misahin dia dari induknya. Aku tau niatmu baik, tapi jangan sampe nanti malah kucing itu stres trus akhirnya mati sia-sia” kataku dengan panjang lebar.

Putri tidak berkomentar banyak, dia masih memeluk kucing itu sambil mengikutiku berjalan..
Kami terus berjalan, melewati pepohonan yang dibiarkan tumbuh liar disini..
Sampai Aku menghentikan langkah sambil menghirup nafas panjang karena mencium sesuatu yang aneh..
Seperti bangkai...
Dan benar saja, tak jauh dari tempat kami berdiri ada bangkai dari anak kucing hutan lain yangtek jauh beda ukuranya dari yang dibawa putri. Dan beberapa meter darinya ada lagi bangkai kucing hutan yang lebih besar..

“ahh aku yakin itu induk kucing itu mur, mungkin ini gara-gara digigit anjing. Liat tu.. lukanya” kata wisnu dari dalam kepala.

Aku hanya mengangguk, kemudian menoleh kearah putri yang melihat kucing liar itu dengan tatapan iba..

“gimana dong nu?, kita tinggalin biar mati gitu aja?” kata putri yang merengek.

“hmmm.. mau gimana lagi mur, biarin aja deh dari pada mati kelaperan” kata wisnu memberiku pertimbangan..

“yaudah yok, tapi sampai dirumah dirawat ya” kataku kepada putri.

“iya nu, beneran deh bakal aku rawat. Nanti aku ajak papa ke kota buat ke dokter hewan. Ini dia kayaknya lukanya parah lo” kata putri sambil menunjuk muka anak kucing itu yang terluka seperti cakaran.
--
Kami segera pulang, kukayuh sepedaitu buru-buru karena putri berencana membawa binatang itu ke dokter hewan bersama ayahnya..

“Nu makasih ya, kayaknya aku buru-buru deh mau ngajak papa buat ke kota” ucap putri begitu kami sampai depan rumahnya yang ternyata tidak begitu jauh dari rumahku.

“iya put... aku langsung pulang ya..” kataku sambil memberikan salam..

**
Aku membayangkan kejadian tadi, putri.. gadis yang lucu, polos dan baik.. suaranya yang cempreng terdengarlucu ditelinga dan teringat selalu dikepala. Hari itu aku pulang menjelang maghrib. Membuat orengtuaku heran. Tidak biasanya Wisnu murti pulang terlambat.
“tadi main sama temen” begitu jawab wisnu. Terlihat ada seringai senang dan heran dari kedua orantua kami. Antara heran sejak kapan aku belajar bergaul, dan senang akhirnya aku dianggap bisa bergaul. Yaa kupikir ada baiknya beliau berfikir seperti itu.

Aku sedang membaca buku-buku lama, salah satu buku yang tengah menarik perhatianku adalah sebuah novel lama terjemahan dari perancis berjudul papilon.
Saat tengah asik menyimak tiba-tiba hanphoneku berbunyi..

“iya put gimana?” sapaku dalam telefon.

“nu.. kucingnya udah dirawat tadi, tapi butuh oprasi karena matanya udah kena infeksi, akhirnya diambil deh mata kananya. Huhu kasian ya” kata putri dengan semangat.

“yaudah yang penting udah di obatin kucing tadi. Dirawat yang bener. Tapi kalo besok ada BKSDA minta tu kucing harus kamu serahin, soalnya setauku blacan itu binatang dilindungi”

“iya bos siap. Hehe.. aku udah punya nama buat dia nu”

“siapa namanya?”

“namanya Dajjal. Hehehe, soalnya matanya Cuma satu hihi..”

“njirrr.. itu kucing kamu namai kayak iblis aja” jaawabku dengan heran..

Begitulah gadis itu, gadis dengan pemikiran yang tidak terduga. Akan ada banyak cerita tentangnya, dan juga tentang kucing bernama menyeramkan itu. Dalam cerita-cerita selanjutnya akan aku ceritakan padamu teman. Tentang bagaimana dia akan merubah hidupku.
Juga akan aku ceritakan lebih banyak beberapa petualanganku yang rasanya akan sulit disebut sebagai kenyataan..
Hidupku sebentar lagi tidak akan sama, begitu juga dengan hidup wisnu. Semua yang begitu aneh akan berubah menjadi begitu rumit...
CERMIN Part 7 CERMIN Part 9
Share:

0 komentar:

Posting Komentar