Aku bermain khayal, mengubah bayang dikepala menjadi gores kuas cat air
yang kasat mata. Kubuat pola wajah dan molek tubuh seorang ayu di masa
lalu. aku tidak pernah melihatnya. orang tertua di bumi yang masih hidup
pun belum tentu pernah bertemu dengan orang yang berusaha ku lukis ini.
wajahnya belum pernah terdokumentasi, potret dirinya tidak pernah
sekalipun dibuat karena orang ini bereksistensi jauh sebelum
Louis jaqcues monde Da Guerre
lahir. Entah kenapa aku jadi tertarik dengannya mungkin karena buku
sejarah yang kubaca kemarin, seorang gadis yang katanya jelita tiada
tara diseantero tanah jawa, memancing kemelut dan perebut pangeran serta
raja nusantara untuk mempersuntingnya. Kisah hidupnya tragis karena
memilih mati atas dasar harga diri dan martabat yang diinjak oleh
perkara cinta yang berpolitik. Sayang,
William Shakespeare
terpisah ruang dan waktu dari orang ini. jika tidak, mungkin dia akan
menulis cerita ini menjadi sebuah karya klasik yang melegenda. Catatan
tentang dirinya sangat minim. hanya disinggung dalam sebuah pararaton
kidung sunda mengenai
Dyah Pitaloka Citraresmi.
Kupampang gambar itu didepan wajahku sambil memiringkan kepala. Mencoba menilai hasil buah karya yang baru saja kubuat.
“kamu yakin Citraresmi mukanya kayak gitu?” tanya murti didalam kepalaku.
“yaa. Kira-kira aja” jawabku sambil memberi selotip ganda pada balik kertas itu dan menempelnya didinding kamar.
teman, kalian tentunya sudah tau tentang kebolehan Murti meniup
flute,
sedikit berbeda dengan dia, aku lebih suka bergaul dengan gambar dari
pada nada, walaupun sebenarnya masing-masing dari kami bisa melakukan
keduanya tapi ini perkara kesenangan.
Kupandangi gambar buatanku tadi untuk sebentar, melihat dari prespektif
kiri dan kanan yang berbeda, mencoba mencari sisi menariknya. Yaa pada
intinya aku puas, meski tidak bisa aku bandingan coretan asal ini dengan
De aardappeleters karya
Van Gogh. Jelas aku sangat konyol jika menyamakan karya ini dengan lukisan kenamaan dari seniman yang bergaya
pasca-impressionist
itu, sedangkan aku sedikit banyak terpengaruh oleh karya ibuku..
Kuhiraukan Murti yang sedari tadi memprotes bahwa gambar gadis yang
kubuat terlalu mengada-ada, menurutnya tidak ada putri raja seperti itu
pada abadke 13 dan juga malah terkesan menyeramkan seperti
Nyi Roro kidul.
“kamu terlalu terpengaruh
disney nu, apa jaman dulu itu
style rambutnya kayak gitu? Apa lagi Citraresmi itu mungkin Cuma bentuk propaganda aja, di kitab
Negarakertagama
sama sekali gak disinggung mengenai perang bubat yang ngerebutin
Citraresmi itu” sekali lagi Murti memprotes, kali ini dia gunakan dalil
pemahaman mengenai sejarahnya yang dangkal itu.
“brisik mur!, ini Cuma gambaran biasa aja napa diributin sih? Protesmu juga aneh. Katanya tadi kayak
Nyi Roro Kidul, trus kayak gambar kartun
disney. Yang bener mana? Apa iya
Nyi Roro Kidul jadi salah satu
Disney Princess” kali ini kujawab dia dengan dongkol, dan tidak hanya melalui bahasa pikiran, melainkan bibirku juga ikut berucap.
Kami terlibat debat, memang tidak selamanya kami akur. Ada kalanya kami
meributkan hal-hal sepele, layaknya kakak beradik pada umumnya. Hanya
saja jika orang lain melihat wisnu murti yang berbicara dan di jawab
sendiri seperti itu akan menjadikan anggapan miring.
Dan benar saja, situasi yang sebelumnya kuanggap sudah aman dari
keluargaku ternyata salah, begitu aku menoleh kebelakang ternyata ibu
sedang memperhatikanku sambil bersandar diambang pintu. Murti sontak
berhenti bicara dan sekali lagi mencampakanku dari masalah yang dibuat
olehnya.
“ehh ibu.. kok tumben jam segini belum tidur?” tanyaku dengan tergagap
“gimana mau tidur, wong kamu aja ribut sendiri dari tadi?”
“ehh.. iy bu, maaf deh” jawabku.
“kenapa? Lagi berantem sama murti?” kata ibu dengan lembut seraya masuk dan duduk disampingku.
Satu-satunya orang dirumah yang seolah percaya bahwa Murti itu nyata
hanyalah ibu, nanda tidak pernah menyinggungnya. Sedangkan Ayah menolak
mentah-mentah setiap apa yang kukatakan tentang Murti. teman, kalian
tau? sebenarnya aku paham ibu tidak sepenuhnya percaya tentang Murti.
menurutku ibu hanya berusaha menjaga perasaan Wisnu Murti yang dianggap
kurang waras.
Belliau duduk disampingku, didepan meja belajar sambil ikut memandangi
lukisan Citraresmi tadi, dia menyibak rambut yang menutupi keningnya,
harum
perfumnya yang beraroma pinus masih terasa memanja
hidungku, ibuku adalah wanita yang cantik diumurnya yang lebih dari 40
tahun beliau tetap terlihat menawan, sangat selaras dengan sifat
lembutnya kepada setiap orang. Mata lebarnya memicing, berusaha
menangkap detail dari tiap gradasi warna yang kubuat, kemudian
berkomentar.
“ini kamu gambar siapa nu?
Nyi Roro Kidul?” kata ibu dengan heran.
Mendengar itu Murti sontak tertawa keras sambil mencibir dari dalam kepalaku.
“hahahaha, bener kan nu! Itu lebih mirip
Nyi Roro Kidul”
Kuhiraukan ejekan Murti dan beralih kepada ibu lagi.
“itu Citraresmi bu, dari Sunda.. bukan
Nyi Roro Kidul”
“ohh abis kayak
Nyi Roro Kidul sih, hmmm kamu ngelukis gadis sunda jangan-jangan karena si Putri tadi sore yaaa?” goda ibu sambil tertawa kecil.
“tuhh mur, kamu yang naksir aku yang di tuduh” kataku dalam pikiran dan membuat Murti diam tak berkutik.
“hehe, enggak kok bu. Lagi dapet inspirasi dari buku aja” kilahku kepada ibu.
“gapapa kok nu, jangan malu. Sudah saatnya kamu harus punya teman” kata ibu sambil membelai rambutku kemudian berlalu pergi.
Kututup pintu kamarku, dan mengganti lampu utama menjadi lampu tidur
yang tergantung dibawah lampu utama, kemudian merebah di kasur.
Cahayanya redup cenderung gelap, ditambah lukisan pohon disekeliling
kamar membuat presepsi pikirku berubah dimana aku tidak lagi merasa
berada di hutan
Biatowieza, melainkan tengah berbaring di bawah rimbunnya
black forest.
Sebuah hutan yang konon sangat kelam di salah satu bagian Jerman. Aku
menyukai tempat yang gelap seperti ini, aku justru merasa aman di
kegelapan. seolah bisa sembunyi dari mulut-mulut munafik itu dan segala
cibiran mereka.
“kamu mau belajar malam nanti?” tanyaku pada murti..
“tubuh ini butuh istirahat nu.. kita terlalu memaksakan diri. Aku akan tidur juga” jawab murti pelan.
Teman, seperti yang kamu tau, Wisnu murti hanya memiliki satu tubuh yang
digunakan secara bergilir. Saat aku tidur murti bisa tetap terjaga dan
beraktifitas. Begitu juga sebaliknya.. ketika aku terbangun dari tidurku
kurasakan pikiranku kembali segar, begitu juga Murti. tapi ada satu hal
yang tidak boleh kami lupakan,yaitu tubuh ini.. tubuh Wisnu Murti
ibarat sebuah mesin otomasi yang dioperatori dua orang, operatornya
secara bergantian bisa istirahat tapi mesin yang terus berjalan lama
kelamaan bisa rusak. Seperti itu juga tubuhku yang tidak bisa menahan
resistansi dari aktivitas dua orang yang dijadikan satu.. karena jarang
tidur, faktor pikiran dan stres yang berakumulasi dari dua orang membuat
tubuh ini melemah dan sering sakit. Terakhir bobotku ideal dengan 55kg,
sekarang hanya tersisa 40kg. Yang membuatku seperti tulang terlilit
kulit...
“ya, ide bagus.. “ kataku sambil mengatupkan kelopak mataku.
......
......
Mungkin belum ada lima menit saat aku terlelap, tiba-tiba handhope yang
kutaruh diatas meja berbunyi nyaring. Saat kesadaranku kembali tanpa
sadar aku sudah duduk didepan meja sambil menatap layar handphone,
mungkin karena murti yang masih terjaga dia mengambil kendali tubuh ini.
“nomor siapa ini mur?” tanyaku yang ikut melihat nomor asing yang terpampang di layar.
“gak tau...” jawab Murti sambil mengangkat telfon.
“haloo, wisnu?” kata orang yang menelfon
“iya..siapa ini?”
“ini putri..” jawabnya, dan kuketahui si penelfon ini adalah orang yang sore tadi meramaikan rumahku.
“oh iya put. Ada apa?”
“gini.. aku tadi lupa nanya jadwal pelajaran buat besok, besok mapelnya apa aja sih?”
murti menjawab pertanyaan putri tentang apa saja mata pelajaran buat
besok, dan pertanyaan-pertanyaan lain mengenai sekolah barunya yang juga
dia tanyakan. Obrolan mereka mengalir dan membuatku sedikit lebih
mengenal putri. Dia gadis yang periang tapi tidak terlalu bawel jika
dibandingkan beberapa cewek sekelasku.
Obrolan mereka berhenti dengan telfon yang ditutup lebih dulu oleh putri. Meninggalkan Murti yang tersenyum penuh arti.
--
Hari itu adalah rabu, sebenarnya malas sekali berangkat karena kejadian
kemarin. Tapi hari rabu tidak bisa Murti tinggalkan. karena hari rabu
ada mata pelajaran favorit yang diberikan oleh guru favoritnya. Pak
Johan, muda, ganteng, penampilannya selalu bersih dengan kemeja rapi
yand dipadu celana katun bersepatu kulit yang mengkilat, kamu akan bisa
berkaca lewat sepatunya. Tidak ada kalimat rasis dari tutur
katanya,tidak seperti guru matematika jadul kemarin. Dia memberikan
semangat kepada muridnya untuk mengenal dunia, indah, luas, tak tebatas!
Begitu katanya setiap awal pertemuan. Beliau menganggap setiap lekuk
bumi adalah harmoni yang cantik. patut di jelajahi dan di syukuri.
Lulusan S2 salah satu kampus beken di Jakarta namun tiada tertarik sama
sekali menjadi dosen, dia memilih menjadi guru honorer di sebuah SMA
pinggiran di Tengah Jawa ini. Katanya gairahnya adalah musik, dan yang
membuatnya mau tetap hidup adalah mengajar .
Dengan adanya beliau, Setidaknya ada hal baik yang bisa kuambil dari sekolah menyebalkan ini.
Ditaruhnya sebuah benda kecil berwarna perak mengkilat seukuran kotak
rokok diatas meja guru, terasa dadaku bergemuruh. Perasaan ini dibuat
oleh Murti yang tidak sabar menunggu jam kedua dari mata pelajaran ini.
Karena pak johan membaginya menjadi satu jam teori dan satu jam praktek.
Yang sebenarnya jam kedua mapel ini merupakan hadiah dari pak johan yang biasa bermain musik secara solo
Seni musik juga adalah gairah dari Murti, dia tidak akan bisa hidup
lama, tanpa telinga yang mendengar nada, murti adalah fans fanatik yang
memiliki jiwa militansi tinggi terhadap beberapa karya klasik seperti
moonlight Sonata dan
fifth Symphony.
suara pak johan bergelora, menggedor jiwa penakut seperti wisnu murti,
membalikan semangat yang mulai kendor menjadi kuat lembali, mungkin masa
kuliahnya dulu dia adalah kordinator demo atau malah seorang orator
yang berorasi ditengah masa untuk menuntut negeri lesu ini menjadi tegak
kembali..
Dan akhirnya saat yang dinantikan Murti tiba saat pak johan mulai duduk
di kursinya dan memungut harmonika kromatisnya, dengan permainan meniup
dan menghirup beliau membuat sebuah bunyi khas dari benda yang tak
seberapa besar itu, indah dan merdu tanpa ada nada yang fals. Kulirik
sekeliling. Kelas yang biasa ramai kini hening, tidak ada sama sekali
yang ribut, mereka juga tidak ingin kehilangan momen berharga yang
diberikan seorang pemusik handal yang juga guru luar biasa ini. Termasuk
seorang gadis yang duduk disebelahku, dia tampak berpangku dagu sambil
tersenyum dan memajamkan mata, seolah menikmati betul alunan syahdu nada
harmonika yang bernada sendu hasil tiupan pak johan..
“Wisnu, mungkin bisa membantu bapak?” kata beliau seraya tersenyum
Secepat kilat tubuh ini diambil alih oleh murti yang sontak berdiri
sambil merogoh tas dan mengambil tongkat ajaibnya, itu adalah flute
andalanya. Entah apakah antara flute dan Harmonika adalah perpaduan yang
pas tapi tentunya aku yakin jika dimainkan dua orang berbakat ini akan
tetap indah jadinya. Minggu lalu pak johan memang meminta Wisnu Murti
ikut andil dalam konser kecil minggu ini.
“ehh nu, kamu bisa main flute?” tanya putri yang keheranan.
“kamu lihat aja” kata murti yang dengan percaya diri berjalan kedepan kelas.
Selruh isi kelas berbisik, heran kenapa anak aneh itu diminta maju
kedepan kelas. Wajar mereka bingung karena mereka belum tau wisnu murti
bisa bermain alat musik. Karena mapel pak johan baru ada pada kelas 11
dan sebelumnya diampu oleh guru yang berbeda, hanya mempelajari secara
teori yang membosankan.
Sebenarnya aku juga sedikit heran karena tiba-tiba murti jadi sepercaya
diri ini. Masing-masing dari mereka memberi kode, antara pak johan dan
wisnu murti dan sesaat kemudian sudah terlantun lagu dari
Lionel Richie yang berjudul
“Hello”.
Kambali momen bisu melanda kelas yang mayoritas diisi cewek cerewet ini,
mereka hanya melongo denganmulut menganga berbentuk huruf “O” . tatapan
tidak percaya mereka keluarkan secara tak sadar, anak aneh bin kurus
bin cupu ini ternyata juga seorang pemusik...
Lagu itu berakhir, dan satu hal yang tidak kuduga adalah terdengar suara
tepuk tangan.. meriah!! Betul-betul mereka mengapresiasiku untuk kali
pertama selama aku bersekolah disini..
Murti menikmati momen itu, menghirup nafas dalam-dalam merengguk
kepuasan setelah penampilan perdananya yang memukau seisi kelas yang ber
tigapuluh dua itu.
Kurasakan bola mataku melirik, kesebelah tempat duduku. Murti melempar senyum..
Kepada putri...
Dan akhirnya aku tau kenapa dia begitu percaya diri dan bersemangat pagi ini...
0 komentar:
Posting Komentar