CERMIN (Prolog):





Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi pembaca Blog Saya.
kali ini saya WN, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari
dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.

cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara. Dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??

cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,

pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal

semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.


ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!







Senin, 03 April 2017

MENGEJUTKAN MEREKA | CERMIN Part 7

Aku bermain khayal, mengubah bayang dikepala menjadi gores kuas cat air yang kasat mata. Kubuat pola wajah dan molek tubuh seorang ayu di masa lalu. aku tidak pernah melihatnya. orang tertua di bumi yang masih hidup pun belum tentu pernah bertemu dengan orang yang berusaha ku lukis ini. wajahnya belum pernah terdokumentasi, potret dirinya tidak pernah sekalipun dibuat karena orang ini bereksistensi jauh sebelum Louis jaqcues monde Da Guerre lahir. Entah kenapa aku jadi tertarik dengannya mungkin karena buku sejarah yang kubaca kemarin, seorang gadis yang katanya jelita tiada tara diseantero tanah jawa, memancing kemelut dan perebut pangeran serta raja nusantara untuk mempersuntingnya. Kisah hidupnya tragis karena memilih mati atas dasar harga diri dan martabat yang diinjak oleh perkara cinta yang berpolitik. Sayang, William Shakespeare terpisah ruang dan waktu dari orang ini. jika tidak, mungkin dia akan menulis cerita ini menjadi sebuah karya klasik yang melegenda. Catatan tentang dirinya sangat minim. hanya disinggung dalam sebuah pararaton kidung sunda mengenai Dyah Pitaloka Citraresmi.

Kupampang gambar itu didepan wajahku sambil memiringkan kepala. Mencoba menilai hasil buah karya yang baru saja kubuat.

“kamu yakin Citraresmi mukanya kayak gitu?” tanya murti didalam kepalaku.

“yaa. Kira-kira aja” jawabku sambil memberi selotip ganda pada balik kertas itu dan menempelnya didinding kamar.

teman, kalian tentunya sudah tau tentang kebolehan Murti meniup flute, sedikit berbeda dengan dia, aku lebih suka bergaul dengan gambar dari pada nada, walaupun sebenarnya masing-masing dari kami bisa melakukan keduanya tapi ini perkara kesenangan.

Kupandangi gambar buatanku tadi untuk sebentar, melihat dari prespektif kiri dan kanan yang berbeda, mencoba mencari sisi menariknya. Yaa pada intinya aku puas, meski tidak bisa aku bandingan coretan asal ini dengan De aardappeleters karya Van Gogh. Jelas aku sangat konyol jika menyamakan karya ini dengan lukisan kenamaan dari seniman yang bergaya pasca-impressionist itu, sedangkan aku sedikit banyak terpengaruh oleh karya ibuku.. Kuhiraukan Murti yang sedari tadi memprotes bahwa gambar gadis yang kubuat terlalu mengada-ada, menurutnya tidak ada putri raja seperti itu pada abadke 13 dan juga malah terkesan menyeramkan seperti Nyi Roro kidul.

“kamu terlalu terpengaruh disney nu, apa jaman dulu itu style rambutnya kayak gitu? Apa lagi Citraresmi itu mungkin Cuma bentuk propaganda aja, di kitab Negarakertagama sama sekali gak disinggung mengenai perang bubat yang ngerebutin Citraresmi itu” sekali lagi Murti memprotes, kali ini dia gunakan dalil pemahaman mengenai sejarahnya yang dangkal itu.

“brisik mur!, ini Cuma gambaran biasa aja napa diributin sih? Protesmu juga aneh. Katanya tadi kayak Nyi Roro Kidul, trus kayak gambar kartun disney. Yang bener mana? Apa iya Nyi Roro Kidul jadi salah satu Disney Princess” kali ini kujawab dia dengan dongkol, dan tidak hanya melalui bahasa pikiran, melainkan bibirku juga ikut berucap.

Kami terlibat debat, memang tidak selamanya kami akur. Ada kalanya kami meributkan hal-hal sepele, layaknya kakak beradik pada umumnya. Hanya saja jika orang lain melihat wisnu murti yang berbicara dan di jawab sendiri seperti itu akan menjadikan anggapan miring.

Dan benar saja, situasi yang sebelumnya kuanggap sudah aman dari keluargaku ternyata salah, begitu aku menoleh kebelakang ternyata ibu sedang memperhatikanku sambil bersandar diambang pintu. Murti sontak berhenti bicara dan sekali lagi mencampakanku dari masalah yang dibuat olehnya.

“ehh ibu.. kok tumben jam segini belum tidur?” tanyaku dengan tergagap

“gimana mau tidur, wong kamu aja ribut sendiri dari tadi?”

“ehh.. iy bu, maaf deh” jawabku.

“kenapa? Lagi berantem sama murti?” kata ibu dengan lembut seraya masuk dan duduk disampingku.

Satu-satunya orang dirumah yang seolah percaya bahwa Murti itu nyata hanyalah ibu, nanda tidak pernah menyinggungnya. Sedangkan Ayah menolak mentah-mentah setiap apa yang kukatakan tentang Murti. teman, kalian tau? sebenarnya aku paham ibu tidak sepenuhnya percaya tentang Murti. menurutku ibu hanya berusaha menjaga perasaan Wisnu Murti yang dianggap kurang waras.

Belliau duduk disampingku, didepan meja belajar sambil ikut memandangi lukisan Citraresmi tadi, dia menyibak rambut yang menutupi keningnya, harum perfumnya yang beraroma pinus masih terasa memanja hidungku, ibuku adalah wanita yang cantik diumurnya yang lebih dari 40 tahun beliau tetap terlihat menawan, sangat selaras dengan sifat lembutnya kepada setiap orang. Mata lebarnya memicing, berusaha menangkap detail dari tiap gradasi warna yang kubuat, kemudian berkomentar.

“ini kamu gambar siapa nu? Nyi Roro Kidul?” kata ibu dengan heran.

Mendengar itu Murti sontak tertawa keras sambil mencibir dari dalam kepalaku.

“hahahaha, bener kan nu! Itu lebih mirip Nyi Roro Kidul”

Kuhiraukan ejekan Murti dan beralih kepada ibu lagi.

“itu Citraresmi bu, dari Sunda.. bukan Nyi Roro Kidul”

“ohh abis kayak Nyi Roro Kidul sih, hmmm kamu ngelukis gadis sunda jangan-jangan karena si Putri tadi sore yaaa?” goda ibu sambil tertawa kecil.

“tuhh mur, kamu yang naksir aku yang di tuduh” kataku dalam pikiran dan membuat Murti diam tak berkutik.

“hehe, enggak kok bu. Lagi dapet inspirasi dari buku aja” kilahku kepada ibu.

“gapapa kok nu, jangan malu. Sudah saatnya kamu harus punya teman” kata ibu sambil membelai rambutku kemudian berlalu pergi.

Kututup pintu kamarku, dan mengganti lampu utama menjadi lampu tidur yang tergantung dibawah lampu utama, kemudian merebah di kasur. Cahayanya redup cenderung gelap, ditambah lukisan pohon disekeliling kamar membuat presepsi pikirku berubah dimana aku tidak lagi merasa berada di hutan Biatowieza, melainkan tengah berbaring di bawah rimbunnya black forest. Sebuah hutan yang konon sangat kelam di salah satu bagian Jerman. Aku menyukai tempat yang gelap seperti ini, aku justru merasa aman di kegelapan. seolah bisa sembunyi dari mulut-mulut munafik itu dan segala cibiran mereka.

“kamu mau belajar malam nanti?” tanyaku pada murti..

“tubuh ini butuh istirahat nu.. kita terlalu memaksakan diri. Aku akan tidur juga” jawab murti pelan.

Teman, seperti yang kamu tau, Wisnu murti hanya memiliki satu tubuh yang digunakan secara bergilir. Saat aku tidur murti bisa tetap terjaga dan beraktifitas. Begitu juga sebaliknya.. ketika aku terbangun dari tidurku kurasakan pikiranku kembali segar, begitu juga Murti. tapi ada satu hal yang tidak boleh kami lupakan,yaitu tubuh ini.. tubuh Wisnu Murti ibarat sebuah mesin otomasi yang dioperatori dua orang, operatornya secara bergantian bisa istirahat tapi mesin yang terus berjalan lama kelamaan bisa rusak. Seperti itu juga tubuhku yang tidak bisa menahan resistansi dari aktivitas dua orang yang dijadikan satu.. karena jarang tidur, faktor pikiran dan stres yang berakumulasi dari dua orang membuat tubuh ini melemah dan sering sakit. Terakhir bobotku ideal dengan 55kg, sekarang hanya tersisa 40kg. Yang membuatku seperti tulang terlilit kulit...

“ya, ide bagus.. “ kataku sambil mengatupkan kelopak mataku.
......
......
Mungkin belum ada lima menit saat aku terlelap, tiba-tiba handhope yang kutaruh diatas meja berbunyi nyaring. Saat kesadaranku kembali tanpa sadar aku sudah duduk didepan meja sambil menatap layar handphone, mungkin karena murti yang masih terjaga dia mengambil kendali tubuh ini.

“nomor siapa ini mur?” tanyaku yang ikut melihat nomor asing yang terpampang di layar.

“gak tau...” jawab Murti sambil mengangkat telfon.

“haloo, wisnu?” kata orang yang menelfon

“iya..siapa ini?”

“ini putri..” jawabnya, dan kuketahui si penelfon ini adalah orang yang sore tadi meramaikan rumahku.

“oh iya put. Ada apa?”

“gini.. aku tadi lupa nanya jadwal pelajaran buat besok, besok mapelnya apa aja sih?”

murti menjawab pertanyaan putri tentang apa saja mata pelajaran buat besok, dan pertanyaan-pertanyaan lain mengenai sekolah barunya yang juga dia tanyakan. Obrolan mereka mengalir dan membuatku sedikit lebih mengenal putri. Dia gadis yang periang tapi tidak terlalu bawel jika dibandingkan beberapa cewek sekelasku.

Obrolan mereka berhenti dengan telfon yang ditutup lebih dulu oleh putri. Meninggalkan Murti yang tersenyum penuh arti.
--
Hari itu adalah rabu, sebenarnya malas sekali berangkat karena kejadian kemarin. Tapi hari rabu tidak bisa Murti tinggalkan. karena hari rabu ada mata pelajaran favorit yang diberikan oleh guru favoritnya. Pak Johan, muda, ganteng, penampilannya selalu bersih dengan kemeja rapi yand dipadu celana katun bersepatu kulit yang mengkilat, kamu akan bisa berkaca lewat sepatunya. Tidak ada kalimat rasis dari tutur katanya,tidak seperti guru matematika jadul kemarin. Dia memberikan semangat kepada muridnya untuk mengenal dunia, indah, luas, tak tebatas! Begitu katanya setiap awal pertemuan. Beliau menganggap setiap lekuk bumi adalah harmoni yang cantik. patut di jelajahi dan di syukuri. Lulusan S2 salah satu kampus beken di Jakarta namun tiada tertarik sama sekali menjadi dosen, dia memilih menjadi guru honorer di sebuah SMA pinggiran di Tengah Jawa ini. Katanya gairahnya adalah musik, dan yang membuatnya mau tetap hidup adalah mengajar .
Dengan adanya beliau, Setidaknya ada hal baik yang bisa kuambil dari sekolah menyebalkan ini.

Ditaruhnya sebuah benda kecil berwarna perak mengkilat seukuran kotak rokok diatas meja guru, terasa dadaku bergemuruh. Perasaan ini dibuat oleh Murti yang tidak sabar menunggu jam kedua dari mata pelajaran ini. Karena pak johan membaginya menjadi satu jam teori dan satu jam praktek.
Yang sebenarnya jam kedua mapel ini merupakan hadiah dari pak johan yang biasa bermain musik secara solo

Seni musik juga adalah gairah dari Murti, dia tidak akan bisa hidup lama, tanpa telinga yang mendengar nada, murti adalah fans fanatik yang memiliki jiwa militansi tinggi terhadap beberapa karya klasik seperti moonlight Sonata dan fifth Symphony.
suara pak johan bergelora, menggedor jiwa penakut seperti wisnu murti, membalikan semangat yang mulai kendor menjadi kuat lembali, mungkin masa kuliahnya dulu dia adalah kordinator demo atau malah seorang orator yang berorasi ditengah masa untuk menuntut negeri lesu ini menjadi tegak kembali..

Dan akhirnya saat yang dinantikan Murti tiba saat pak johan mulai duduk di kursinya dan memungut harmonika kromatisnya, dengan permainan meniup dan menghirup beliau membuat sebuah bunyi khas dari benda yang tak seberapa besar itu, indah dan merdu tanpa ada nada yang fals. Kulirik sekeliling. Kelas yang biasa ramai kini hening, tidak ada sama sekali yang ribut, mereka juga tidak ingin kehilangan momen berharga yang diberikan seorang pemusik handal yang juga guru luar biasa ini. Termasuk seorang gadis yang duduk disebelahku, dia tampak berpangku dagu sambil tersenyum dan memajamkan mata, seolah menikmati betul alunan syahdu nada harmonika yang bernada sendu hasil tiupan pak johan..

“Wisnu, mungkin bisa membantu bapak?” kata beliau seraya tersenyum

Secepat kilat tubuh ini diambil alih oleh murti yang sontak berdiri sambil merogoh tas dan mengambil tongkat ajaibnya, itu adalah flute andalanya. Entah apakah antara flute dan Harmonika adalah perpaduan yang pas tapi tentunya aku yakin jika dimainkan dua orang berbakat ini akan tetap indah jadinya. Minggu lalu pak johan memang meminta Wisnu Murti ikut andil dalam konser kecil minggu ini.

“ehh nu, kamu bisa main flute?” tanya putri yang keheranan.

“kamu lihat aja” kata murti yang dengan percaya diri berjalan kedepan kelas.

Selruh isi kelas berbisik, heran kenapa anak aneh itu diminta maju kedepan kelas. Wajar mereka bingung karena mereka belum tau wisnu murti bisa bermain alat musik. Karena mapel pak johan baru ada pada kelas 11 dan sebelumnya diampu oleh guru yang berbeda, hanya mempelajari secara teori yang membosankan.

Sebenarnya aku juga sedikit heran karena tiba-tiba murti jadi sepercaya diri ini. Masing-masing dari mereka memberi kode, antara pak johan dan wisnu murti dan sesaat kemudian sudah terlantun lagu dari Lionel Richie yang berjudul “Hello”.

Kambali momen bisu melanda kelas yang mayoritas diisi cewek cerewet ini, mereka hanya melongo denganmulut menganga berbentuk huruf “O” . tatapan tidak percaya mereka keluarkan secara tak sadar, anak aneh bin kurus bin cupu ini ternyata juga seorang pemusik...

Lagu itu berakhir, dan satu hal yang tidak kuduga adalah terdengar suara tepuk tangan.. meriah!! Betul-betul mereka mengapresiasiku untuk kali pertama selama aku bersekolah disini..

Murti menikmati momen itu, menghirup nafas dalam-dalam merengguk kepuasan setelah penampilan perdananya yang memukau seisi kelas yang ber tigapuluh dua itu.

Kurasakan bola mataku melirik, kesebelah tempat duduku. Murti melempar senyum..
Kepada putri...

Dan akhirnya aku tau kenapa dia begitu percaya diri dan bersemangat pagi ini...
CERMIN Part 6 CERMIN Part 8
Share:

0 komentar:

Posting Komentar