CERMIN (Prolog):





Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi pembaca Blog Saya.
kali ini saya WN, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari
dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.

cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara. Dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??

cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,

pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal

semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.


ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!







Sabtu, 01 April 2017

SAFE HOUSE | CERMIN Part 6

Rumah bercat biru itu. Sudah kulihat rumahku.. aku turrun dari motor ojek beberapa meter sebelum sampai didepan pagarnya yang terbuat dari besi yang terkorosi, berkarat dimakan musim.
Wanita itu disana, sedang memainkan kuas diatas kanvas, melukis objek berupa bugenfil yang tertiup angin berhawa panas. Dia menoleh dari kejauhan tersenyum saat melihatku sudah diluar pagar. Kubuka pagar itu hingga berbunyi besi yang bergesek. Segera saja senyum yang terkembang tu runtuh, saat aku mendekat. Dia nampak terkejut saat tau aku pulang dengan wajah lebam membiru dan berhias noda darah mengering, baju compang camping yang tidak terkancing.

Wanita 40 tahun itu mendekatiku, dia usap kepalaku dan membelai pipiku. Tidak bertanya apapun karena aku yakin bercerita saja tidak akan membantuku yang baru saja melewati hari yang buruk.
Kudekap tubuh ibuku dengan erat, seperti anak 5 tahun yang minta perlindungan..
Dan disaat yang sama, meskipun tanpa air mata keluar, kurasakan Murti menangis.. bergetar perasaanya yang membaur dengan perasaanku. Perasaan yang selama belasan taun hanya tersampaikan melalui perantara tubuhku tanpa dia bisa menyampaikannya sendiri dengan identitas sebagai anak lain yang bukan Wisnu..

“wisnu.. lain kali hati-hati ya” kata ibu yang merangkul pundaku dan mengajak masuk kedalam rumah..

“mas Wisnu kenapa?” tanya adiku Nanda yang masih SMP.

“gapapa kok dek, mas tadi Cuma jatoh aja” kali ini kubiarka Murti memakai tubuh ini.

Tanganku bergerak, mengusap rambut adiku yang tergerai sebahu ini. Terasa perih bibirku saat Murti memaksa untuk tersenyum di depan nanda.
“aku ambilin obat dulu mas” kata nanda sambil berlar keruang keluarga.

Aku duduk disamping ibu, diatas sofa beludru berwarna merah di ruang tengah ..

“kali ini gak masuk BP kan?” tanya ibu dengan lembut yang hanya dibalas Murti dengan gelengan kepala.

“yang penting sekarang kamu udah sampe rumah, wisnu percaya sama ibu. Suatu saat temen-temen wisnu bakal ngerti kalau berbeda itu tidak musti jelek” kata beliau untuk menenangkanku.

Aku tau yang ada dibenak Murti, dia mau berkata kalau “aku gak punya temen untuk mengerti” tapi segera kularang. Lebih baik menurut dengan setiap apa yang jadi nasihat dari Ibu kami ini..

Kepalaku dibuat mengangguk oleh murti, kembali kami merasakan perih, saat luka-luka ini beradu dengan betadine yang diteteskan oleh nanda yang merawat kami sambil memberondong dengan pertanyaan, “kok bisa sempe gini sih mas? mas wisnu pasti berantem lagi.. Aku gak percaya kalo jatoh”
--

Mataku menerawang, bola mata ini berputar kesekeliling langit-langit kamar, lukisan-lukisan dinding itu terasa hdup, aku seperti berada dibawah lindungan rimbun pohon oak dan pohon spruce yang diterobos berkas sinar matahari yang bergradasi dengan warna latar, membuatku merasa berada di tengah hutan Biatowieza yang ada di Polandia, Itu adalah lukisan yang dilukis ibuku. Beliau adalah seorang seniman lukis realis dengan satu tema, yaitu pohon.. sebuah relief berukir gaya leak bali yang dikolaborasi motif tumbuhan gaya jepara juga terukir di pintu kamarku yang terbuat dari kayu jati yang mengkilat terpliture. Lagi-lagi itu karya ibuku yang juga senimat pahat. Hampir semua dekorasi dirumah kami adalah juga hasil karya artistik ibuku... kubiarkan pintu itu terbuka dan nanda muncul dari ambang pintu sambil membawa benda serupa pipa dari besi dan ikut merebah diatas kasur.
“mas ayo musikan”katanya sambil menyodorkan flute itu kepadaku.

“gak liat ni bibir bengkak dek?” kata murti melalui mulutku

“hehe, salah siapa berantem mas, mbok jangan nakal mas kalo disekolah” katanya dengan tengil

Kuacakacak rambutnya dan kuambil flute yang ada ditangannya sambil meniupnya dengan pelan karena bibirku yang mulai jontor dan membengkak.

“pelan aja ya”kata Murti sambil memonyongkan bibirnya dan ujung bibirku menyentuh lipe plate, Jari tanganya mulai bermain pada chord, Wisnu Murti memang sudah fasih memainkan teknik penjarian scales, dari nada kromatis yang terdapat pada tiga oktav flute, dengan pelan murti meniup benda itu hingga menghasilkan sebuah bunyi yang tinggi.

Satu hal yang harus kalian ketahui, keluarga kami adalah keluarga seniman. Ibuku adalah seorang pelukis dan pemahat, sedangkan ayahku adalah seorang guru seni musik. Wajarlah jika kami sebagai anaknya sedikit mempelajarinya, walaupun tak sefasih beliau berdua.

“My knee is still shaking, like I was twelve
Sneakin' out the classroom, by the back door
A man railed at me twice though
But I didn't care
Waiting is wasting, for people like me
Don't try to look so wise
Don't cry 'cause you're so right
Don't dry with fakes or fears
'Cause you will hate yourself in the end”

Nanda bernyanyi menyanyikan sebuah lagu dari ost serial kartun jepang... suaranya merdu sama seperti suara ibuku, dan kini dia mengeja nada dari tangga nada yang dimainkan melalui flute ini...
“Nanda!! Sini bentar” seru ibu dari halaman belakang, dan memaksa kami berhenti bermain. Nanda segera berlari menuju sumber suara, Murti menggerakan tubuh dan terduduk diatas kasur. Kurasakan mulutku membuat senyum simpul dan semakin lebar hingga membuat senyum lebar.. Murti, dia melakukan hal itu karena bahagia, dengan hal sederhana ini.. mungkin juga ini yang membuat Wisnu Murti sering dicap sebagai orang tidak waras. Karena sering senyum sendiri dengan alasan tidak jelas....
--
Murti merebahkan tubuh ini lagi, dan kami sama-sama menahan ngilu akibat dikeroyok tadi.
“sudahlah, itu sudah berlalu” kataku yang langsung diiyakan oleh Murti..

“gimana boy? Katanya tadi berantem lagi?” kepalaku bergerak kearah ambang pintu dan Ayahku melangkah masuk.
Pria hampir 50 tahun itu duduk disampingku yang merebah malas..
“lebih tepatnya dikeroyok yah” kata Murti menjawab.
Beliau menghela nafas sambil menepuk ringan pundaku..”kamu harus bisa jaga diri, jangan biarkan fantasi liarmu itu menguasai ya.. terserah kamu, apa ada baiknya besok Ayah ke sekolahmu buat ngurus ini?”
Kepalaku hanya menggeleng, tanda tidak setuju dengan saran Ayahku..
“kamu sudah besar, dan tau mana yang baik buatmu.. jika ingin semua berjalan baik. Ikuti saran dokter, dan mulailah cari teman. Agar ... yaa seperti itu” ucap beliau seraya berlalu..
Aku termenung, memegangi dada yang terasa sesak, bukan karena nafasku yang mampat atau sakit, namun terasa dari ada sesuatu yang mengisi rongga dadak secara paksa dan tidak nyaman.. Murti.... aku tau dia bersedih lagi saat disebut oleh ayahnya sendiri sebagai “fantasi liar”

“Mur...” panggilku kepadanya.
“udah nu, ga perlu dibahas” jawabnya menolak panggilanku..
Badan ini bergerak, menuju halaman samping rumah.. tampak jelas Murti sedang mencari cara untuk menghapus jejak sedih yang diakibatkan ucapan ayah tadi... dan dia memilih membantu ibu dan nanda yang tengah sibuk merawat koleksi kembang petunia dan Black orchid langka yang diberikan seorang kawannya dari borneo.

“mas ambilin alat siram dong” pinta nanda dengan berseru

Murti memutar badan dan menuju gudang untuk mengambil barang yang dimaksud nanda, sebelum kembali kehalaman murti bergerak kedapur dan menuang segelas air untuk minum.. hari ini sudah cukup sore, namun masih terasa panas.
Dan begitu kembali ke halaman aku melihat pemandangan yang ganjil. Perlu kalian ketahui, halaman rumah kami berbentuk letter L, yang bermula dai samping rumah dan berbelok kebelakang rumah. Dan pada depan halaman ada sebuah pagar kecil dengan tinggi hanya semeter yang terbuat dari kayu untuk pembatas dari jalan trotoar. Jadi para pejalan kaki yang kebetulan lewat dapat melihat isi halaman rumah kami yang didekor dengan apik oleh ibuku. Satu hal yang tidak biasa adalah saat aku lihat seseorang dari balik pagar sedang berbicara pada ibuku.. dan itu adalah orang yang kami kenal..

“putri..” Murti menggumam pelan, dan sejurus kemudian namaku dipanggil.

“wisnu, sini.. ini ada temennya mau ketemu” kata ibuku sambil membuka pagar untuk mempersilahkan putri masuk.

Murti berjalan mendekat, dengan sebuah tanda tanya besar di kepala kami, ada perlu apa anak baru itu kesini?

“wiiihhh cantik mas.. tumben banget ada temenmu mampir” kata Nanda sambil cengengesan..

“apa to dek”jawabku sambil terus berjalan pelan kearah putri yang sudah duduk di bangku besi di tengah halaman.

“kamu kok gak bilang to nu kalau ada temen yang mampir, ibu buatin minum dulu” kata ibu sambil berlalu meninggalkan kami, terlihat nanda juga mengekor dibelakang ibu.

“loh put ada apa kok tiba-tiba kesini?” tanyaku sambil ikut duduk didepanya”

“gak ada apa-apa kok nu, Cuma mau ngasih ini..” katanya sambil menurunkan tas dipunggungnya, dan ternyata itu adalah tas sekolah milikku.. yaaa aku bahkan sama sekali tidak ingat saat kami pulang tadi, tas itu masih ada di kelas..

“ehh.. iya aku lupa. Mma makasih put” kata Murti dengan sedikit terbata...
Kami memang jarang berkomunikasi dengan orang lain, hanya sebatas jika ditanya, sisanya hanya diam...

“aku tadi liat kamu nu...” katanya sambil memandangku...

“ohh.. maaf kamu harus lihat itu, diem aja ya. Jangan omong siapa-siapa” jawab murti...
Putri mengangguk pelan tanda mengerti.

“aku sebenernya mau nolong kamu pas tadi di halaman belakang, niatnya mau ambil obat di tas, tapi pas balik kamu udah gak ada, masih sakit nu?” ucapnya dengan pandangan mata yang menurutku ... emm aku tidak tau pasti tatapan macam apa itu, rasanya aneh..

“udah gak apa apa kok, makasih ya put” kata murti dengan suarayang terdengar kikuk..

“kamu tau dari mana kalo aku tinggal disini?” tanya murti yang heran kenapa dia bisa sampai tau rumahku.

“ahh, gampang aja kok nu. Tadi tanya temen-temen”
--
Putri memandang sekeliling. Sepertinya dia tertarik dengan ornamen dan hiasan yang sengaja dibuat ibuku untuk mempercantik halaman ini..
“nu .. apa itu petunia?” tanya putri sambil menunjuk beberapa bunga yang tumbuh jamak di dekat pancuran air.

“iya” jawab murti..

“aku boleh lihat?” pintanya.

Murti mengangguk dan berdiri kemudian berjalan diikuti putri yang mengikutinya..
Aku melihat gadis itu tersenyum sambil berjongkok di dekat kumpulan bunga berwarna terang itu, matanya menelisik melihat dari ujung sampai pangkal bunga milik ibuku itu.dia tersenyum, pipinya mengembang dengan lesung pipi yang menawan, sudah kukatakan sebelumnya bahwa putri ini adalah gadis yang cantik, entah apa yang membuatnya terlihat cantik, mungkin karena kulitnya yang putih? Atau hidungnya yang mancung?
“wah kayaknya lagi asik nih” suara nanda membuat kami menoleh. Terlihat dia sedang membawa nampan berisi dua gelas minuman, dan dibelakangnya ada ibu yang menenteng dua toples camilan.

“ayo mbak minum dulu” ajak ibu dengan suara yang ramah..

“duhh jadi merepotkan tante” jawab putri sedikit basa-basi sambil berjalan menuju tempat duduk tadi.

“tante, aku mau tanya. Kok bisa banget bikin taman sebagus ini sih?” tanya putri dengan antusias.

“ohh gampang, putri mau belajar?”

“ehh emang boleh tante?” tanya dia lagi.

“ya boleh dong, syaratnya satu” kata ibu

“apa itu tante?”

“kamu harus sering main kesini” kata ibu sambil tersenyum

“hihi iya tante. Kalau ada waktu saya bakal main sekalian belajar” balas putri

“yeee, beneran lho mbak.. jadi kan aku punya temen. Bosen maen sama mas wisnu mulu” kali ini Nanda yang ikutan bicara..
hari itu kami ngobrol ditaman, bersama putri, ibu dan nanda. Sebenarnya aku tidak ikut nimbrung. kubiarkan Murti menikmati sore itu.. ibu dan nanda terlihat senang saat ada seorang yang mengaku sebagai temanku mampir kerumah, menurut mereka ini adalah sebuah kemajuan. Dan Putri adalah gadis yang menyenangkan baru kali ini ada orang yang begitu peduli dengan wisnu murti, dia tidak menghindar dari Wisnu Murti tapi malah mendekat, aku yakin dia sudah mendengar rumor tentangku yang dianggap mereka tidak waras. Tapi entah lah kenapa itu tidak mempengaruhinya.
--
“makasih ya put” ujar murti saat mengantar putri didepan pagar.

“iya aku juga seneng, ibu sama adikmu menyenangkan. Besok aku mampir lagi ya”

“eh beneran?” kata murti

“iya, kenapa? Gak boleh nih?”

“eehh boleh kok, boleh banget malah”

“hhi yaudah, bye wisnu.. sampai jumpa besok.. aku tau sebenernya kamu gak kayak apa yang mereka omongin” ucap putri sambil melambai dan berjalan pulang

Badanku termangu, menatap gadis berkerudung dan berseragam osis itu berjalan pulang. Aku tau satu hal karena apa yang dirasakan murti ikut aku rasakan, ada perasaan nyaman didada.
Putri... gadis yang baru sehari dikenal oleh kami. Nampaknya akan menjadi sebuah cerita baru dalam hidup kami....

CERMIN Part 5 CERMIN Part 7
Share:

0 komentar:

Posting Komentar