Rumah bercat biru itu. Sudah kulihat rumahku.. aku turrun dari motor
ojek beberapa meter sebelum sampai didepan pagarnya yang terbuat dari
besi yang terkorosi, berkarat dimakan musim.
Wanita itu disana, sedang memainkan kuas diatas kanvas, melukis objek berupa
bugenfil
yang tertiup angin berhawa panas. Dia menoleh dari kejauhan tersenyum
saat melihatku sudah diluar pagar. Kubuka pagar itu hingga berbunyi besi
yang bergesek. Segera saja senyum yang terkembang tu runtuh, saat aku
mendekat. Dia nampak terkejut saat tau aku pulang dengan wajah lebam
membiru dan berhias noda darah mengering, baju compang camping yang
tidak terkancing.
Wanita 40 tahun itu mendekatiku, dia usap kepalaku dan membelai pipiku.
Tidak bertanya apapun karena aku yakin bercerita saja tidak akan
membantuku yang baru saja melewati hari yang buruk.
Kudekap tubuh ibuku dengan erat, seperti anak 5 tahun yang minta perlindungan..
Dan disaat yang sama, meskipun tanpa air mata keluar, kurasakan Murti
menangis.. bergetar perasaanya yang membaur dengan perasaanku. Perasaan
yang selama belasan taun hanya tersampaikan melalui perantara tubuhku
tanpa dia bisa menyampaikannya sendiri dengan identitas sebagai anak
lain yang bukan Wisnu..
“wisnu.. lain kali hati-hati ya” kata ibu yang merangkul pundaku dan mengajak masuk kedalam rumah..
“mas Wisnu kenapa?” tanya adiku Nanda yang masih SMP.
“gapapa kok dek, mas tadi Cuma jatoh aja” kali ini kubiarka Murti memakai tubuh ini.
Tanganku bergerak, mengusap rambut adiku yang tergerai sebahu ini.
Terasa perih bibirku saat Murti memaksa untuk tersenyum di depan nanda.
“aku ambilin obat dulu mas” kata nanda sambil berlar keruang keluarga.
Aku duduk disamping ibu, diatas sofa beludru berwarna merah di ruang tengah ..
“kali ini gak masuk BP kan?” tanya ibu dengan lembut yang hanya dibalas Murti dengan gelengan kepala.
“yang penting sekarang kamu udah sampe rumah, wisnu percaya sama ibu.
Suatu saat temen-temen wisnu bakal ngerti kalau berbeda itu tidak musti
jelek” kata beliau untuk menenangkanku.
Aku tau yang ada dibenak Murti, dia mau berkata kalau “aku gak punya
temen untuk mengerti” tapi segera kularang. Lebih baik menurut dengan
setiap apa yang jadi nasihat dari Ibu kami ini..
Kepalaku dibuat mengangguk oleh murti, kembali kami merasakan perih,
saat luka-luka ini beradu dengan betadine yang diteteskan oleh nanda
yang merawat kami sambil memberondong dengan pertanyaan, “kok bisa sempe
gini sih mas? mas wisnu pasti berantem lagi.. Aku gak percaya kalo
jatoh”
--
Mataku menerawang, bola mata ini berputar kesekeliling langit-langit
kamar, lukisan-lukisan dinding itu terasa hdup, aku seperti berada
dibawah lindungan rimbun pohon
oak dan pohon
spruce yang diterobos berkas sinar matahari yang bergradasi dengan warna latar, membuatku merasa berada di tengah hutan
Biatowieza
yang ada di Polandia, Itu adalah lukisan yang dilukis ibuku. Beliau
adalah seorang seniman lukis realis dengan satu tema, yaitu pohon..
sebuah relief berukir gaya leak bali yang dikolaborasi motif tumbuhan
gaya jepara juga terukir di pintu kamarku yang terbuat dari kayu jati
yang mengkilat terpliture. Lagi-lagi itu karya ibuku yang juga senimat
pahat. Hampir semua dekorasi dirumah kami adalah juga hasil karya
artistik ibuku... kubiarkan pintu itu terbuka dan nanda muncul dari
ambang pintu sambil membawa benda serupa pipa dari besi dan ikut merebah
diatas kasur.
“mas ayo musikan”katanya sambil menyodorkan flute itu kepadaku.
“gak liat ni bibir bengkak dek?” kata murti melalui mulutku
“hehe, salah siapa berantem mas, mbok jangan nakal mas kalo disekolah” katanya dengan tengil
Kuacakacak rambutnya dan kuambil
flute yang ada ditangannya sambil meniupnya dengan pelan karena bibirku yang mulai jontor dan membengkak.
“pelan aja ya”kata Murti sambil memonyongkan bibirnya dan ujung bibirku menyentuh
lipe plate, Jari tanganya mulai bermain pada
chord, Wisnu Murti memang sudah fasih memainkan teknik penjarian
scales, dari nada kromatis yang terdapat pada tiga oktav
flute, dengan pelan murti meniup benda itu hingga menghasilkan sebuah bunyi yang tinggi.
Satu hal yang harus kalian ketahui, keluarga kami adalah keluarga
seniman. Ibuku adalah seorang pelukis dan pemahat, sedangkan ayahku
adalah seorang guru seni musik. Wajarlah jika kami sebagai anaknya
sedikit mempelajarinya, walaupun tak sefasih beliau berdua.
“My knee is still shaking, like I was twelve
Sneakin' out the classroom, by the back door
A man railed at me twice though
But I didn't care
Waiting is wasting, for people like me
Don't try to look so wise
Don't cry 'cause you're so right
Don't dry with fakes or fears
'Cause you will hate yourself in the end”
Nanda bernyanyi
menyanyikan sebuah lagu dari ost serial kartun jepang... suaranya merdu
sama seperti suara ibuku, dan kini dia mengeja nada dari tangga nada
yang dimainkan melalui flute ini...
“Nanda!! Sini bentar” seru ibu dari halaman belakang, dan memaksa kami
berhenti bermain. Nanda segera berlari menuju sumber suara, Murti
menggerakan tubuh dan terduduk diatas kasur. Kurasakan mulutku membuat
senyum simpul dan semakin lebar hingga membuat senyum lebar.. Murti, dia
melakukan hal itu karena bahagia, dengan hal sederhana ini.. mungkin
juga ini yang membuat Wisnu Murti sering dicap sebagai orang tidak
waras. Karena sering senyum sendiri dengan alasan tidak jelas....
--
Murti merebahkan tubuh ini lagi, dan kami sama-sama menahan ngilu akibat dikeroyok tadi.
“sudahlah, itu sudah berlalu” kataku yang langsung diiyakan oleh Murti..
“gimana boy? Katanya tadi berantem lagi?” kepalaku bergerak kearah ambang pintu dan Ayahku melangkah masuk.
Pria hampir 50 tahun itu duduk disampingku yang merebah malas..
“lebih tepatnya dikeroyok yah” kata Murti menjawab.
Beliau menghela nafas sambil menepuk ringan pundaku..”kamu harus bisa
jaga diri, jangan biarkan fantasi liarmu itu menguasai ya.. terserah
kamu, apa ada baiknya besok Ayah ke sekolahmu buat ngurus ini?”
Kepalaku hanya menggeleng, tanda tidak setuju dengan saran Ayahku..
“kamu sudah besar, dan tau mana yang baik buatmu.. jika ingin semua
berjalan baik. Ikuti saran dokter, dan mulailah cari teman. Agar ... yaa
seperti itu” ucap beliau seraya berlalu..
Aku termenung, memegangi dada yang terasa sesak, bukan karena nafasku
yang mampat atau sakit, namun terasa dari ada sesuatu yang mengisi
rongga dadak secara paksa dan tidak nyaman.. Murti.... aku tau dia
bersedih lagi saat disebut oleh ayahnya sendiri sebagai “fantasi liar”
“Mur...” panggilku kepadanya.
“udah nu, ga perlu dibahas” jawabnya menolak panggilanku..
Badan ini bergerak, menuju halaman samping rumah.. tampak jelas Murti
sedang mencari cara untuk menghapus jejak sedih yang diakibatkan ucapan
ayah tadi... dan dia memilih membantu ibu dan nanda yang tengah sibuk
merawat koleksi kembang
petunia dan
Black orchid langka yang diberikan seorang kawannya dari borneo.
“mas ambilin alat siram dong” pinta nanda dengan berseru
Murti memutar badan dan menuju gudang untuk mengambil barang yang
dimaksud nanda, sebelum kembali kehalaman murti bergerak kedapur dan
menuang segelas air untuk minum.. hari ini sudah cukup sore, namun masih
terasa panas.
Dan begitu kembali ke halaman aku melihat pemandangan yang ganjil. Perlu
kalian ketahui, halaman rumah kami berbentuk letter L, yang bermula dai
samping rumah dan berbelok kebelakang rumah. Dan pada depan halaman ada
sebuah pagar kecil dengan tinggi hanya semeter yang terbuat dari kayu
untuk pembatas dari jalan trotoar. Jadi para pejalan kaki yang kebetulan
lewat dapat melihat isi halaman rumah kami yang didekor dengan apik
oleh ibuku. Satu hal yang tidak biasa adalah saat aku lihat seseorang
dari balik pagar sedang berbicara pada ibuku.. dan itu adalah orang yang
kami kenal..
“putri..” Murti menggumam pelan, dan sejurus kemudian namaku dipanggil.
“wisnu, sini.. ini ada temennya mau ketemu” kata ibuku sambil membuka pagar untuk mempersilahkan putri masuk.
Murti berjalan mendekat, dengan sebuah tanda tanya besar di kepala kami, ada perlu apa anak baru itu kesini?
“wiiihhh cantik mas.. tumben banget ada temenmu mampir” kata Nanda sambil cengengesan..
“apa to dek”jawabku sambil terus berjalan pelan kearah putri yang sudah duduk di bangku besi di tengah halaman.
“kamu kok gak bilang to nu kalau ada temen yang mampir, ibu buatin minum
dulu” kata ibu sambil berlalu meninggalkan kami, terlihat nanda juga
mengekor dibelakang ibu.
“loh put ada apa kok tiba-tiba kesini?” tanyaku sambil ikut duduk didepanya”
“gak ada apa-apa kok nu, Cuma mau ngasih ini..” katanya sambil
menurunkan tas dipunggungnya, dan ternyata itu adalah tas sekolah
milikku.. yaaa aku bahkan sama sekali tidak ingat saat kami pulang tadi,
tas itu masih ada di kelas..
“ehh.. iya aku lupa. Mma makasih put” kata Murti dengan sedikit terbata...
Kami memang jarang berkomunikasi dengan orang lain, hanya sebatas jika ditanya, sisanya hanya diam...
“aku tadi liat kamu nu...” katanya sambil memandangku...
“ohh.. maaf kamu harus lihat itu, diem aja ya. Jangan omong siapa-siapa” jawab murti...
Putri mengangguk pelan tanda mengerti.
“aku sebenernya mau nolong kamu pas tadi di halaman belakang, niatnya
mau ambil obat di tas, tapi pas balik kamu udah gak ada, masih sakit
nu?” ucapnya dengan pandangan mata yang menurutku ... emm aku tidak tau
pasti tatapan macam apa itu, rasanya aneh..
“udah gak apa apa kok, makasih ya put” kata murti dengan suarayang terdengar kikuk..
“kamu tau dari mana kalo aku tinggal disini?” tanya murti yang heran kenapa dia bisa sampai tau rumahku.
“ahh, gampang aja kok nu. Tadi tanya temen-temen”
--
Putri memandang sekeliling. Sepertinya dia tertarik dengan ornamen dan
hiasan yang sengaja dibuat ibuku untuk mempercantik halaman ini..
“nu .. apa itu
petunia?” tanya putri sambil menunjuk beberapa bunga yang tumbuh jamak di dekat pancuran air.
“iya” jawab murti..
“aku boleh lihat?” pintanya.
Murti mengangguk dan berdiri kemudian berjalan diikuti putri yang mengikutinya..
Aku melihat gadis itu tersenyum sambil berjongkok di dekat kumpulan
bunga berwarna terang itu, matanya menelisik melihat dari ujung sampai
pangkal bunga milik ibuku itu.dia tersenyum, pipinya mengembang dengan
lesung pipi yang menawan, sudah kukatakan sebelumnya bahwa putri ini
adalah gadis yang cantik, entah apa yang membuatnya terlihat cantik,
mungkin karena kulitnya yang putih? Atau hidungnya yang mancung?
“wah kayaknya lagi asik nih” suara nanda membuat kami menoleh. Terlihat
dia sedang membawa nampan berisi dua gelas minuman, dan dibelakangnya
ada ibu yang menenteng dua toples camilan.
“ayo mbak minum dulu” ajak ibu dengan suara yang ramah..
“duhh jadi merepotkan tante” jawab putri sedikit basa-basi sambil berjalan menuju tempat duduk tadi.
“tante, aku mau tanya. Kok bisa banget bikin taman sebagus ini sih?” tanya putri dengan antusias.
“ohh gampang, putri mau belajar?”
“ehh emang boleh tante?” tanya dia lagi.
“ya boleh dong, syaratnya satu” kata ibu
“apa itu tante?”
“kamu harus sering main kesini” kata ibu sambil tersenyum
“hihi iya tante. Kalau ada waktu saya bakal main sekalian belajar” balas putri
“yeee, beneran lho mbak.. jadi kan aku punya temen. Bosen maen sama mas wisnu mulu” kali ini Nanda yang ikutan bicara..
hari itu kami ngobrol ditaman, bersama putri, ibu dan nanda. Sebenarnya
aku tidak ikut nimbrung. kubiarkan Murti menikmati sore itu.. ibu dan
nanda terlihat senang saat ada seorang yang mengaku sebagai temanku
mampir kerumah, menurut mereka ini adalah sebuah kemajuan. Dan Putri
adalah gadis yang menyenangkan baru kali ini ada orang yang begitu
peduli dengan wisnu murti, dia tidak menghindar dari Wisnu Murti tapi
malah mendekat, aku yakin dia sudah mendengar rumor tentangku yang
dianggap mereka tidak waras. Tapi entah lah kenapa itu tidak
mempengaruhinya.
--
“makasih ya put” ujar murti saat mengantar putri didepan pagar.
“iya aku juga seneng, ibu sama adikmu menyenangkan. Besok aku mampir lagi ya”
“eh beneran?” kata murti
“iya, kenapa? Gak boleh nih?”
“eehh boleh kok, boleh banget malah”
“hhi yaudah, bye wisnu.. sampai jumpa besok.. aku tau sebenernya kamu
gak kayak apa yang mereka omongin” ucap putri sambil melambai dan
berjalan pulang
Badanku termangu, menatap gadis berkerudung dan berseragam osis itu
berjalan pulang. Aku tau satu hal karena apa yang dirasakan murti ikut
aku rasakan, ada perasaan nyaman didada.
Putri... gadis yang baru sehari dikenal oleh kami. Nampaknya akan menjadi sebuah cerita baru dalam hidup kami....
0 komentar:
Posting Komentar