CERMIN (Prolog):





Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi pembaca Blog Saya.
kali ini saya WN, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari
dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.

cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara. Dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??

cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,

pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal

semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.


ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!







Sabtu, 29 Juli 2017

AKU TIDAK GILA! | CERMIN Part 11

Aku dimasukan kedalam mobil berwarna silver tidak jelas ini mobil milik siapa, sebelumnya aku sudah disuntik oleh dokter joko yang membuatku lemas dan setengah sadar, ada dua orang yang mengapitku. Masing-masing memegangi lenganku dengan kuat.. sisa-sisa kesadaranku mulai menurun saat itu. Tapi aneh, murti nampaknya tidak terpengaruh oleh suntikan obat yang mungkin adalah obat penenang ini. namun apa daya, serasa obat yang masuk kedalam aliran darahku mampu melemaskan otot dan tenaga dari wisnu murti..

Share:

Selasa, 18 April 2017

Tips Menulis

Temanku, disini akan saya bagikan tips menulis versi saya sendiri. Berdasarkan pengalaman menulis #100tahunsetelahakumati.Edisi pertama.Tips menulis ini bisa teman-teman coba aplikasikan menulis cerita, cerpen, novel, buku, artikel, maupun blog. Berikut tips menulis versi saya :

1.Riset
Riset menjadi modal awal dalam menulis, tentunya setelah kita memiliki ide cerita. Bagaimana penokohan karakter dalam cerita, setting tempat, waktu, dan juga emosi. Dalam menulis 100tsam saya membutuhkan waktu untuk menulis selama satu tahun, tapi untuk risetnya itu lebih lama lagi. Dalam menulis saya sering memposisikan diri sebagai salah satu tokoh. Mengandaikan bahwa saya adalah si pelaku cerita. Tujuanya apa? Agar saya dapat menuliskan emosi dari setiap peristiwa dalam cerita. 
Saya memposisikan diri bagaimana indahnya ketika jatuh cinta, bagaimana takutnya saat melihat hantu. Bagaimana sedihnya saat ditinggal mati, bagaimana marahnya saat dihina. Dan emosi-emosi lain yang ada dalam cerita.Hal itu memudahkan pembaca untuk ikut hanyut dalam setiap perasaan yang kita tulis.
Semua itu saya dapat dari riset, dan selain dari si orang pertama dalam cerita, informasi mengenai hal-hal apa saja yang harus saya tulis juga saya dapat dari berbagai sumber.Kuncinya adalah riset, dalam menulis riset adalah hal mutlak, untuk menentukan dasar cerita, dan informasi penting yang harus ada dalam cerita.

Bersambung ...
Share:

Minggu, 16 April 2017

KAMI TIDAK INGIN DIPISAHKAN!!! | CERMIN Part 10

Sudah bukan rahasia buatmu teman, aku menceritakan padamu secara jujur bahwa demi apapun aku tidak ingin dipisahkan dengan murti! apapun alasannya..
Bapak.. ibu.. semuanya! Aku tidak peduli sama sekali dengan pengobatan yang mereka tawarkan!
Biarkan aku di justifikasi sebagai orang tidak waras, orang sakit dan apapun yang mereka sebut tentang aku, kuceritakan padamu dengan huruf kapital AKU TIDAK PEDULI !!

Mereka bilang aku dinyatakan sembuh saat aku sudah mengakui bahwa Murti adikku tidak pernah ada. Jika seperti itu biarlah aku terus sakit.. biarkan aku tetap pada kondisiku sekarang yang mereka anggap tidak waras. Aku tidak mau menenggak obat-obatan itu kalau tujuannya adalah membunuh murti adiku. Tidak! Tidak akan pernah..

dokter Joko datang sore itu, seperti biasa bapak dan ibu tidak pernah bilang padaku saat mengundang psikiater itu kerumah untuk mengontrol kondisi kejiwaanku.. kulihat secara tidak sengaja dari balik jendela kamar saat mobil berwarna hitam itu masuk pekarangan. Mobil itu berbeda dari mobil yang terakhir digunakan kesini...
“tipuan lama” gumamku sambil membuka jendela.. aku tidak perlu melihat siapa didalam mobil sedan itu. Bau antikonvulsan, benzodiazepine, dan antipsikotik sudah dapat tercium hidungku..
“kita harus kabur mur!, aku tidak mau menghabiskan obat-obatan itu!” pekiku sambil berusaha meloncat dari jendela.

Kurasakan jantungku berdebar sangat hebat, rasa debar ini diakibatkan akumulasi dari perasaanku dan juga perasaan murti yang sangat ketakutan.
Aku memiliki kenangan buruk soal pengobatan ini, dimana setelah aku meminum obat-obatan itu aku merasa menjadi orang lain.. bukan lagi seperti aku.. entah siapa aku setelah meminum obat itu, jika mereka menganggap aku waras setelah berobat, maka mereka salah.. bagaimana bisa aku disebut waras jika aku kehilangan diriku sendiri?, sering aku terpojok dan harus meminum obat itu, dan segera sebelum bereaksi aku mutahkan kembali di kamar mandi. Begitu terus yang kulakukan. Namun kelamaan aku jengah juga, dan kali ini memilih kabur!

Aku berhasil keluar melewati jendela, kukunci dulu kamarku untuk mengelabui orang rumah bahwa aku sedang mengurung diri di kamar.. kuloncati pagar samping dan berlari kencang menuju tempat biasa aku bersembunyi..
Sarang ... yaa aku akan bersembunyi di sarang! Tidak aku berfikir panjang tentang bagaimana masalah yang akan aku terima nanti, saat ayah dan ibuku tau jika aku kabur.. yang terpenting sekarang aku tidak ingin disentuh oleh dokter jiwa itu!

Aku berlari menyusuri jalanan setapak dan kebun-kebun milik tetanggaku. Beruntung itu sudah sore dan tak banyak aktifitas di kebun karet itu, jadi mungkin tidak ada orang yang melihatku menyelinap.. nafasku tersengal, karena jalanan yang menanjak dan sama sekali tidak kuturunkan tempo gerak kakiku. Ditambah memang fisiku tidak bagus semakin menambah rasa lelah diseluruh badan...

Gubug itu sudah terlihat, secepat mungkin kupaksa paru-paruku untuk mencukupi suplai oksigen yang kubutuhkan untuk aktifitas ini..

“haaahhh... haaaahhhhhh... “ nafasku memburu, keringatku bercucuran. Membuat basah seluruh kaos yang aku pakai..
Kupandang rumahku yang terlihat sangat kecil dari bukit ini. Mereka pasti kebingungan mencariku..

“murti.. kita aman sekarang” kataku sambil meringkuk diatas gubug reot itu..
Dan kebiasaan burukku kambuh lagi..

Depresi.. yaa jika menghadapi persoalan satu ini aku menjadi sangat depresi, keringat dingin mengucur semakin deras, badanku terasa dingin. Dan ketakutan, penyesalan, rasa sedih segera menyelimuti hati..membuatku menggigil seperti orang yang sakaw karena kecanduan narkoba...

“ini semua salahku ... kamu harus kembali dan menuruti perkataan ayah dan ibu nu” kata murti..

“gakk akan mur!!! Gak akan!!!!” teriaku kepadanya, kali ini kontrol diriku sudah tidak terbendung dan mulutku ikut berucap..

“kamu berhak dapet hidup normal nu!” jawab murti lagi..

“kamu gak denger apa!! Aku gak peduli!!” teriaku sambil memukul tiang penyangga gubug itu hingga membuatnya bergetarr....

Tanganku mulai berair karena darah yang muncrat, tidak kuhiraukan rasa sakit itu, sebaliknya aku malah merasa menikmati rasa nyeri itu..

Kulipat lututku, dan kubenamkan wajahku diatasnya.. lelehan air mata mulai jatuh.. rasa sakit, takut dan semua emosi membaur membuat suasana batinku semakin kacau..

Apa benar kata mereka? Apa aku gila? Tapi kenapa aku merasa waras? Ataukah orang gila itu memang tidak pernah merasa gila? Dan apa orang gila itu disebut gila karena dia sudah menyimpang dari kewarasan orang kebanyakan?

Murti terdiam, aku juga demikian. Kami berbagi semuanya. Termasuk rasa sedih ini..
***
Aku merasakan isi saku celanaku bergetar.. ternyata adalah hanphoneku yang terbawa..
“Ayah” ... huhh sudah tau rupanya jika aku kabur.. kumatikan hp itu dan kembali melamun..

Entah berapa lama aku melamun, sampai aku dikagetkan sebuah sentuhan lembut benda berbulu mengagetkanku..

“Dajjal??” aku tidak percaya bahwa yang menyentuhku barusan adalah kucing hutan yang dibawa pulang oleh putri beberapa minggu lalu.. kucing hutan bermata satu itu benar-benar jinak dan dia mulai mengusap usapkan badanya, seperti kucing rumahan..

“putri??” yaa itu adalah putri yang terlihat menuntun sepedanya. Sedang apa diadisini?

“wisnu??.. kaamu kenapa? Ngapain disini? tanganmu kenapa??” kata dia sambilmenyongsongku sambil meraih tanganku yang berdarah..

“putri kamu ngapain disini?”

“diem!.. “ bentaknya kepadaku sambil meraih sapu tangan dari dalam tas kecilnya dan membalutkannya pada tanganku yang berdarah..

“aku kenal kamu nu.. dan aku ini temenmu dan kamu beolah cerita apapun tentang masalahmu.inshaallah aku bakal jadi pendengar yang baik” ucapnya dengan lembut sambil menyeka air mata yang membasuh pipiku..
Buru-buru aku seka wajahku dengan lengan kaos, dan kembali berdiam..
“mur, apa ada baiknya?”
“ya, udah kepalang basah.. biar aku nu” jawab murti sambil mengambil alih tubuh ini..

“kamu tentunya udah denger tentang aku kan put?” kata murti membuka obrolan ..

“yaa aku tau tentang kabar mengenai kamu.. lalu kenapa kamu bisa sampai begini? Aku gak pernah percaya omongan mereka.. menurutku kamu anak yang baik”
Kuhela nafas panjang dan mulai bercerita
“yaa jika kamu sudah mendengar kabar itu maka kamu harus mulai percaya dengan apa yang mereka bilang .......”

Murti menceritakan semuanya, tentangku, tentang dia tentang semua hal aneh ini, kehidupan aneh ini, dan kegilaan aneh yang cukup aneh untuk disandang orang aneh.. murti menceritakan setiap detail dari wisnu murti. putri terlihat menyimak, sesekali dahinya berkerut samar, tapi sama sekali dia tidak menginterupsi apa yang murti katakan..

“jadi mulai sekarang kamu harus hati-hati sama aku put.. yang mereka bilang tentang aku semuanya... semuanya bener” kata murti dengan suara yang bergetar menahan tangis..

Kupikir putri akan segera pergi begitu mendengar pernyataan murti ternyata aku salah. Murti menggnggam tangan kiriku dan berucap lembut..

“jadi yang lagi bicara ini murti buka wisnu?” kata dia sambil menatap wajahku..

Murti mengangguk pelan...

“emm.. entah lah murti, wisnu.. wisnu murti.. kalau nama itu ternyata milik dua orang aku malah seneng... artinya aku punya teman 2 in 1..” ucapnya dengan tersenyum..

“puttt...”
“aku gak peduli, entah itu kamu murti atau wisnu murti.. aku gak peduli kata orang, bahkan katamu sendiri.. menurutku semua orang punya hak yang sama atas sebuah pengakuan.” Kata putri dengan menangkan.

“aku akan selalu jadi temanmu, wisnu murti..jadi teman dari wisnu dan murti” tambahnya dengan tersenyum..

“dan juga si dajjal, kami akan jadi temenmu” kata putri dengan tangan kiri mermas tanganku, dan tangan satunya mengelus tengkuk si dajjal yang mulai mendengkur di pangkuannya..
--
Teman kalian tau? Sungguh tutur kata putri yang lembut dan menenangkan adalah obat mujarab untuk masalahku, jauh lebih ampuh dari obat anti depresi yang diberikan dr.joko yang katanya mampu menyembuhkanku..

“wisnu.. murti.. kalian harus pulang, apapun yang terjadi di rumahmu hadapi itu” kata putri sambil menggandengku dan mengajaku berdiri..

Murti mengangguk, sedikit senyum tipis tersungging dibibirku walaupun tersamar oleh sinar matahari yang mulai meredup ditelan perbukitan di lembah adikarta ini...
***

Putri menuntun sepedanya, menyusuri jalan yang menurun.. sedangkan dajjal dengan antengnya duduk didalam keranjang kecil yang ada pada bagian depan sepeda cewek itu..
“kamu ngapain ke sarang put?” tanya murti yang sudah mulai tenang..

“aku mau nganter dajjal..pulang, ke tempat asalnya. Dia emang ga seharusnya aku pelihara. Seperti yang kamu bilang dulu.. dia ini binatang liar, tapi.. yaa kayak yang kamu lihat dia ga mau ditinggal. Dia selalu ngikutin aku pulang. Udah seminggu ini aku tiap sore kesini”

“mungkin dia pengen kamu pelihara” jawabku

“enggak, dia ingin bebas.. hanya saja mungkin dia kesepian... sama kayak kamu”
**
Teman, pertemuanku dengan putri memang sudah berhasil menghilangkan perasaan depresiku barusan, dengan kalimat sederhana namun ajaib dia berhasil membawa semangat baru, mengingatkanku bahwa kini tidak hanya Murti yang menjadi sahabatku. Melainkan dia.. putri sudah berikrar bahwa akan selalu menjadi teman kami. Putri juga sudah berhasil membujuku untuk pulang. Dan menghadapi apa yang harus kuhadapi..

Memang yang dikatakan putri tidak salah, namun juga bukan berarti benar 100%.
Ternyata tidak segampang itu untuk menghadapi sebuah ini.
Ayahku.. beliau menyambutku pulang dengan kemarahan besar..
Sudah sampai pada batas kesabaran beliau menghadapi kami..
Dan malam itu juga, wisnu murti harus berpisah...

Berpisah dengan sekolah...
Berpisah dengan ibu dan nanda....
Berpisah dengan kehidupan dirumah..
Berpisah dengan Dajjal
Dan berpisah dengan putri....

Malam itu juga aku dibawa kesebuah panti rehabilitasi mental dan jiwa..
Sebuah babak baru di hidup kami akan dimulai, babak baru setelah harapan yang belum lama ditanam oleh putri kini dicabut paksa oleh ayahku..
Merengut hampir semua kebahagiaanku yang tersisa..
Kini aku akan hidup disebuah penjara, yang mungkin akan menjarah semuanya dariku...


CERMIN Part 9 CERMIN Part 11
Share:

KEPO!! | CERMIN Part 9

Malam itu aku sedang belajar. Membolak balik buku pelajaran yang menurutku sangat membosankan. Entah siapa yang membuat sistem pembelajaran ini.
Aku menggigit pangkal pena yang kugunakan untuk mencorat coret rumus Matematika tentang perhitungan integralparsial yang menjadi pekerjaan rumah untuk besok. Biasanya kami akan saling berdiskusi untuk menemukan metode hitung yang lebih mudah dalam sebuah pemecahan rumus hitungan, entah itu matematika atau fisika. Karena kalian tau kan apa yang diajarkan di sekolah kadang terlalu bertele-tele untuk dikerjakan. Sangat membuang waktu.

Malam itu murti hanya diam saja, meskipun begitu ia tidak akan bisa menyembunyikan isi pikirannya yang terbagi denganku. Putri .... siapa lagi kalau bukan gadis itu, dia sudah berhasil membuat penuh seisi pikiran murti..aku hanya berdiam, tidak berkomentar sama sekali. Sebenarnya ada sedikit kekawatiran tentang hal itu, namun segera kutepis dan tidak memikirkanya lebih jauh. Aku takut murti jadi ikut risau jika aku terus memikirkannya. Untuk sementara ini, biarlah seperti ini, dan mengenai hal apa yang membuatku khawatir akan kuceritakan padamu besok teman.

“kamu sudah selesai belajar?” tanya murti yang akhirnya angkat bicara.

“aah, apa kamu mau gantian?” tanyaku kepada murti.

Murti tidak menjawab, mengambil alih tubuh ini dan menutup buku, menggerakan badan dan berjalan menuju meja komputer, menghidupkanya dan mencolok kabel line untuk berinternet..

“Dajjal” begtu yang dia tuliskan pada beranda search engine yang juga biasa kamu gunakan untuk berinternet itu.

“ngapain kamu googling begituan mur?” tanyaku keheranan.

“yaa Cuma penasaran aja, si putri ngasih nama kucing tadi kok serem banget. Jadi pengen tau dajjal itu kayak apa” kata murti dengan cuek.

“ada-ada aja. Emang ada gitu yang pernah ngefoto dajjal? Trus di upload di internet?” tanyaku mencibir.
“bawel dah ah, yaa anggep aja ini sama kayak kamu pas lagi nglukis citraresmi kemaren” jawabnya mengelak.

Aku tidak menjawab, hanya diam sambil menyimak gambar-gambar ilustrasi dari internet yang melukiskan sosok dajjal bermata satu.. rupanya keingin tahuan murti melebar, dia malah mengunjungi situs-situs berbau klenik tentang hantu-hantu dan mitologi lokal yang menurutku konyol dan tidak masuk akal. Yaa satu lagi perbedaanku dengan murti adalah tentang bacaan.
Murti menyukai novel fantasi, yang memuat dunia-dunia baru yang liar, ajaib dan tidak masuk akal.
Seperti tulisan Lewis carroll dengan Alice in wonderland miliknya. Sedangkan aku lebih menyukai bacaan bersifat exacta atau sciensces. Entahlah kenapa bisa begitu, kenapa kita satu tubuh tapi sangat bertolak belakang?, aku sering mengilhami pemikiran George Berkeley, dimana dia mengatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui tentang dunia lebih banyak daripada yang kita dapat melalui indra. Setiap aku mendebat soal itu murti langsung menjawab dengan kalimat galak mematikan “kalo gitu, kamu anggap aku ini apa nu?” dan itu sukses membuatku tidak enak hati dengan adikku yang malang ini.
Tapi akan ada hari dimana aku sadar bahwa pernyataan George Berkeley itu keliru.. benar-benar sangat keliru!
**
senin adalah hari yang tidak menyenangkan, mayoritas pelajar pasti akan setuju dan nampaknya Wisnu Murti masuk dalam kategori itu. Aku sedang terkantuk-kantuk tapi berusaha tetap dalam keadaan sadar setelah digempur ocehan pak Badrun guru matematika menyebalkan itu. Sedangkan Putri, dia sedang mengoceh tentang bagaimana lucunya tingkah polah dari Dajjal, kucing hutan peliharaanya. Aku sedikit sanksi, apakah benar dajjal bisa sejinak seperti yang diceritakan putri? Karena seekor kucing liar tidak mudah dijinakan, apalagi untuk gadis polos seperti putri. Kutanggapi hal itu dengan biasa saja tapi rupanya murti benar-benar memperhatikan ocehan putri tadi.

“nu ..” entah berapa kali dia berhasil mengganggu konsentrasiku yang tidak stabil ini.

“apa?”
“aku mau omong ...”
“ya omong tinggal omong aja” jawabku dengan tatapan tetap dipapan tulis berdebu itu.

Putri menaruh selembar kertas ukuran A4 diatas meja, dan pada Headline nya terbaca.

“Dibuka Pendaftaran Panitia Perkemahan Besar SMA ......”

“gimana ni maksudnya put?” tanyaku

“daftar ini yuk, lumayan itung-itung maen” kata putri sambilmenarik ujung lengan seragamku.
....
....
....
“yaa ayo deh”

Kalian tau teman, yang menjawab barusan bukan aku, sama sekali bukan aku. Itu adalah Murti yang tidak suka berfikir panjang. Dia langsung menyetujui ajakan putri padahal jelas sebelumnya kami tidak pernah mengikuti kegiatan ekskul sebelumnya dan kami memiliki kesulitan dalam berinteraksi.

“Murti!, kamu sadar apa yang kamu bilang barusan?” bentaku kepadanya.

“bukannya kamu yang bilang kalo kita harus berusaha membuka diri?” jawabnya dengan peracaya diri.

Aku tidak membantah apa yang dikaakan muri, mungkin ada benarnya juga bahwa sekaranglah saatnya, saat yang tepat memulai awal baru...
Singkatnya hari itu kami mendaftarkan diri, di sanggar pramuka yang ada di sekolahku. Tidak banyak hal yang menarik, wisnu muri hanya mengekor kepada putri yang mengurus semua syarat yang harus dipersiapkan untuk menjadi panitia perkemahan itu dan pada akhrinnya wisnu murti diterima. Yaa walaupun harus menghadapi tatapan-tatapan tidak suka dari pengurus ekskul ini.
****
Hari yang ditunggu tiba, itu adalah hari dimana rombongan pagi berangkat. Murti sangat bersemangat hari itu, dia punya alasan kuat untuk menjaga semangatnya karena ada putri. Sedangkan aku tidak terlalu excited pada acara ini. Perkemahan akan dilaksanakan di sebuah bumi perkemahan disebah lereng gunung yang terpisah satu kabupaten dari Adikarta tempat tinggal kami.

“bener kan nu, tempatnya keren.. pemandangannya ga kalah bagus dari rumah kita” ujar putri sambil menenteng tas ransel super besar ketika kami sudah sampai.

Tidak perlu aku ceritakan panjang lebar mengenai kegiatan kala itu, semuanya hampir sama seperti saat kalian berkemah di SMA. Aku akan menceritakan satu bagian menarik pada kegiatan ini yang akan aku ingat seumur hidupku!.
---
Malam itu adalah hari kedua perkemahan, anak-anak kelas 10 yang kami dampingi sudah pulas tertidur di masing-masing tenda mereka. Sedangkan kami anak kelas 11 sedang melakukan koordinasi untuk kegiatan malam ala-ala perkemahan. Teman, kalian tau ternyata kegiatan ini bukan ide yang buruk. Wisnu murti cukup diterima baik, awalnya memang kesulitan. Tapi setelah kami mulai bekerja sama mereka dapat mengesampingkan imej jelekdari wisnu murti.
Pelajaran pertama kalau mau punya teman. “Ikutlah kegiatan pramuka”.

“nahh semua sudah mengerti tugas masing-masing?” kata Pradana yang menjadi ketua panitia.
Kami semua mengangguk tanda paham, meskipun disini aku kurang setuju dengan acara semacam ini. Kegiatan malam saat itu adalah jerit malam. Teman kalian tau? Ini adalah sebuah pola pendidikan yang keliru. Harusnya kegiatan semacam ini dilarang, ini sudah termasuk pemloncoan dengan menakut-nakuti peserta. Nama jerit malamsebenarnya juga sebuah kesalah pahaman. Yang harusnya bernama jurit malam, bertujuan untuk menumbuhkan keberanian peserta didik, namun bukan berarti harus ditakut takuti. Mungkin kalian pernah mengalami hal serupa selama berkemah.

Aku sudah memakai kostumku, bersama 4 orang tumbal lain kami harus menjadi pocong dan bersembunyi di beberapa tempat untuk mengejutkan peserta yang lewat.
Aku, akbar, ramdhan, Tanto, dan budi. Semua sudah ditentukan titik sembunyinya. Beberapa di persimpangan jalan, ada yang di bawah pohon, ada yang di semak-semak. Lalu dimana Wisnu Murti?
Aku memilih spot paling angker. Yaitu di sebuah perkuburan tua yang sudah tidak terpakai, sengaja aku mengajukan diri,selain agar terkesan pemberani aku juga ingin memberi pelajaran pada Murti yang selalu tertarik dengan hal-hal gaib yang sama sekalitidak aku percaya.

“apa kamu segitu bodonya nu?,kenapa milih disini sih!!” gerutu murti yang mulai ketakutan karena suasana yang sangat mencekam.
Kuhiraukan ocehannya yang beruntun dan mengeluarkan pergelangan tangan dari kain kafan yang melilitku. Sudah jam 01.30, artinya anak-anak kelas 10 sudah mulai jalan..
“nu, kata orang-orang disini angker bangett yuk ahhh cabut,kita cari tempat yang lebih enakan” murti mulai merengek meminta aku untuk berpindah dari kuburan orang mati ini..

“ini pelajaran buat kamu mur!, biar kamu ga penakut lagi masalah ginian, lagi pula yang kamu takutin apa to? Ini Cuma kuburan. Orang-orangnya udah mati semua, gak mungkin bisa gerak lagi” protesku kepada murti.

Kami terus berdebat malam itu, kuhiraukan suara-suara jangkrik, dan binatang malam seperti burung hantu yang saling bersahutan. Malam itu kami diterangi sinar purnama yang berpendar. Dan entah sedari kapan, tiba-tiba terdengar suara seperti orang berjalan...

“ssssttt udah, ini kayaknya ada yang mulai dateng”kataku menyudahi debat kami dan bersembunyi di balik sebuah nisan bertahun 1972..

“nu.... nu... kayaknya itu bukan anak kelas 10 deh!” jerit murti dari dalam kepalaku.
Benar saja, itu memang bukan anak kelas 10, mee meeelainkan..

“pocong nu!!!” teriak murti histeris.

“muur!! Jangan penakut napa sih?, liat tu apa iya ada pocong obesitas kayak gitu, itu pasti si budi. Dia kan mangkal ga jauh dari sini” kataku sambil mengamati pocong yang meloncat-loncat dengan kepayahan itu, dia melintas persis di depan kami yang tengah sembunyi, nampaknya dia ketakutan juga jadi dia meloncat dengan terburu-buru dan Bruuuggggg...

Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak saat melihatnya, coba kalian bayangkan ada pocong yang jatuh tengkurap dengan badan tambunnya, entah jika aku adalah peserta kemah aku harus ketakutan atau malah tertawa..
“hahahaa. Ayo kita bantu dia, padahal kan kain bagian bawah bisa dibuka buat jalan. Ngapain dia loncat-loncat begitu” kataku kepada murti sambil membuka ikatan di pergelangan kakiku agar bisa berjalan dengan leluasa.

Baru saja aku hendak menghampiri si budi yang tengkurap di pinggir jalan, aku sudah tidak melihatnya lagi.. serius!, dia hilang begitu saja..

“mur.. kamu lihat gak??”tanyaku dengan suara bergetar..

“nu .. jjjaaaa.jaanggan-jj jjaangan” jawab murti yang jelas sangat ketakutan dengan suara yang terbata.
Belum lama keheranan kami mengenai kemana si budi yang menghilang dalam sekejab tadi, kami harus segera sembunyikarena mendengar suara berdebam dan jeritan dari beberapa anak cewek yang mulai di terror pada kegiatan yang katanya pendidikan karakter ini..
Aku berdiri mematung di antara batu-batu nisan yang nyarisruntuh itu memasang wajah paling mengerikan dan sukses membuat semua peserta lari terbirit-birit..

“aaaa!!!! Pocongggg!!!” begitu teriak mereka dan berlari lagi, kemudian ada teriakan yang sama tak jauh dari posisi kami..

“denger mur? Itu pasti si budi.. ga usah parnoan” kataku sambil menenangkan murti yang sudah paranoid sedari tadi...
---
Kegiatan itu selesai pada pukul 03.00 dan alhamdulillah semuanya lancar.. semua peserta tidak mengalami gangguan yang berarti dan kami memberitahu bahwa penampakan yang mereka lihat adalah panitia yang sengaja membuat kejutan malam itu. Segera saja raut wajah mereka berubah dari awalnya ketakutan menjadi helaan nafas lega, dan segera berganti lagi menjadi berbagai macam ekspresi, ada yang tertawa, ada juga yang menggerutu karena kesal..tampak bapak ibu guru dibelakang kami hanya tersenyum sambil mengawasi kegiatan kami..

“waahh..kok bisa serem gitu sih kak pocong nya?” kata seorang anak cewek

“iya apa lagi yang dikuburan tadi.. hiiii..” kata teman disebelahnya.

“iya, kirain tadi pocong nya Cuma ada satu..eee ternyata rombongan.ada enem, haha”

Pradana mendengar obrolan mereka dan menyenggolku pelan.
“nu, yang jadi pocong tadi Cuma berlima kan?” tanya dia dengan suara pelan.

Kuiyakan pertanyaannya, dan kebingungan mulai hinggap di benaku.. pradana kemudian memberikan pertanyaan berapa jumlah pocong yang dilihat peserta, dan semua menjawab

“ada enam kak!, yang di kuburan malah ada dua” kata mereka saling bersahutan..
Pucat pasi rasanya wajahku saat mendengar jawaban mereka, jaadi apa yang aku lihat tadi beneran....
“Bud, tadi kamu mangkal di deket kuburan kan?” tanyaku pada budi yang berada di sebelahku.
Anak tambun itu menggeleng, “aku tadi sembunyi di bawah pohon randu nu, jauh dari tempatmu”
.....
.....
Malam itu kegiatan dicukupkan, peserta dipersilahkan kembali beristirahat di tenda masing-masing. Jika tadi yang ketakutan adalah peserta kemah maka kini giliran kami sebagai panitia yang ketakutan. Bagaimana tidak, kegiatan malam itu meninggalkan sebuah misteri, yaitu siapa yang menjadi pocong ke enam? Dan sialnya pocong ke lima dan enam tadi dikatakan peserta berada di kuburan. Aku adalah pocong ke lima.. jadi si.. siiiapa yang menjadi pocong ke enam???
**
Malam itu wisnu murti mendapat pelajaran baru.
1. Teori dari George Berkeley itu keliru
2. Jerit malam adalah ide kegiatan yang buruk
3. Ternyata pocong juga bisa jatuh tersandung
4. Pocong bisa mengidap obesitas
Dan hari itu juga aku akan lebih menddengarkan murti, ternyata benar.. apa yang tidak terlihat belum tentu itu tidak ada.. malam yang tidak terlupa, malam kepo... ketemu pocong.
CERMIN Part 8 CERMIN Part 10
Share:

Selasa, 11 April 2017

BERTEMU DENGAN DAJJAL | CERMIN Part 8

Aku berdiri didepan kelas, berusaha tegar meski kaki terasa gemetar.. aku seperti kembang lotus yang tergoyang namun berusaha tenang diatas air yang bergelombang tak seimbang. Kelas ini riuh setelah dua kali empatpuluh lima menit yang lalu membisu akibat kalimat ajaib pak Johan. Dan sekarang, penuh dengan suara tepukan tangan dan gelengan kepala yang menyiratkan rasa tidak percaya dari tigapuluh satu orang didepanku ini.

Senang bukan main yang kurasa, baru kali ini ada yang mengapresiasi dan memujiku begitu ikhlas selain ibuku..

Aku kembali duduk ke bangku miliku, dan sedetik kemudian ujung lengan seragamku di terasa ditarik.

“kamu kok gak pernah cerita kalo jago musik” kata Putri dengan antusias.

“lha kamu gak pernah tanya” jawabku dengan tenang...
--
Hari itu berjalan lancar, seharian tidak ada hal yang wisnu murti keluhkan. Sampai bel terakhir berbunyi senyum tak mau lepas dari bibirku..
Aku berjalan pulang, tak sabar rasanya mendengar komentar ibu mengenai hari ini.
Jalanan didepan sekolahku sudah di aspal meskipun dengan seadanya, aspal yang digunakan untuk memplester jalanan ini tentunya bukan kualitas terbaik, entah dari mana pemerintah mendapatkannya, yang jelas akan cepat hancur, saat hujan mengguyur.

Tak banyak hal menarik disini, kalian akan cepat bosan jika berkunjung. jauh dari kota , tidak ada cafe, Tidak ada bioskop, tidak ada mall. Hanya beberapa bangunan tua berjejer dan rumah warga yang berjarak jarang-jarang, selebihnya adalah pohon-pohon kelapa dan abasia yang tumbuh dimana-mana. Pemandangan jamak lain adalah sawah yang luas, lebih luas dari pada lapangan bola manapun yang pernah kalian lihat.. aku tinggal desa, yang berjarak 40 kilometer dari kota. Tempatnya berada dibawah kaki bukit, yang terbentang di tengah jawa. bukan jawa tengah! Hanya kukira-kira sendiri berada pada posisi tengah jawa, yaa memang betul sih kalau daerahku ini dekat dengan jawa tengah, namun kurang tepat kusebut begitu karena menurut otonomi daerah tempatku masuk Provinsi sebelahnya jawa tengah. Bukan Jawa Barat.... JawaTimur juga bukan bung!
Silahkan kalian perkirakan sendiri saja ya.. kalian sudah tau maksudku tentunya.

Tidak terlalu jauh jarak rumah dari sekolah, biasanya sepeda adalah pilihan utama untukku pulang pergi, tapi karena insiden tempo hari terpaksa aku berjalan. Kurogoh hanphoneku dan segera kumasukan lagi kedalam saku karena melihat sinyalnya yang hanya satu bar.
Memang hanya beberapa operator selular yang bisa meringsek ke kampung ini...

Kususuri jalanan itu, sesekali kupercepat langkahku untuk menghindar terik matahari dengan berlindung pada bayanga pohon pohon jati yang mulai meranggas di tengah kemarau ini..
Beberapa anak yang mengendarai motor melewatiku dengan menggemborkan sepeda motornya. Menatapku dengan sinis sambil jari tengahnya mengacung kearahku..

“hiraukan mereka Mur” kata murti dari dalam kepalaku..

“yaa, aku tau” jawabku kalem, sambil terus berjalan menafikan mereka yang tempo hari menghajarku habis-habisan..

“ting ting ting” sebuah bunyi berdenting membuatku menoleh, dan disanalah dia. Putri sedang tersenyum lebar diatas sepeda merah jambunya..

“mau kamana nu?” tanya dia

“mau ke mekah” jawabku dengan terusberjalan..

“ha? Beneran? Jalan kaki? Ngapai ke mekah?” tanya dia yang buru-buru menuntun sepedanya ke sampingku.

“kamu percaya put?” tanyaku dengan heran.

“gimana sih? Kan kamu yang bilang” jawabnya dengan menggerutu.

“nu ...”

“apa put?”

“mau kemana?”
“pulang lah, gitu aja pake ditanyain sih put” jawabku dengan sedikit sewot karena kepolosan anak ini.

“hehe nah tinggal jawab gitu aja kok repot sih nu” ucapnya sambil membetulkan letak jilbabnya.
--
Entah angin apa yang membuat putri menuntun sepedanya dan berjalan denganku, dia lempar pandanganya ke hamparan sawah yang mulai menguning yang dilatari perbukitan tinggi yang berderet memanjang seperti great wall yanng yang ada di china.
Setiap kali angin berhembus menerpa wajahnya dia pejamkan mata untuk sebentar dan dihirupnya nafas dalam, seolah sedang menikmati aroma harum dari melati liar yang tumbuh rimbun di kanan kiri jalan sebagai pagar hidup.

Sejenak kupandangi wajahnya. Teduh dan damai, seolah dia tidak pernah memiliki masalah dalam hidupnya yang sempurna. Tak seperti aku teman, yang sejak lahir diberi masalah.. aku yang lahir cacat tanpa tubuh .. dan entah apakah aku layak disebut lahir, karena aku muncul tanpa dibarengi fisik atas kepunyaanku sendiri.

Masih belum kuberanjak dari wajahnya yang mulai merekahkan senyum, dari samping kulihat matanya yang terpejam memperlihatkan bulu mata yang melengkung nan indah..

“nu, tau tempat yang pemandanganya bagus disekitar sini?” tanya dia..

Aku diam sebentar dan membayangkan salah satu lokasi favoritku.

“ada, kalau kamu mau bisa aku tunjukin..”

“dimana nu?”

“disana” jawabku sambil menunjuk sebuah bukit kecil yang nampak rimbun dengan pepohonan cemara dan pinus...

“aku sebut tempat itu Sarang” kataku pelan.

**
“sarang?” ucap putri dengan dahi yang berkerut samar.

“udah ayo kesana, deket kok” ujarku dengan mempercepat langkah kakiku...

“nu, naek sepeda aja. Tapi kamu yang boncengin ya. Hehe” katanya dengan suara memanja.

Kuiyakan tawaranya, dan duduk pada sedel depan dan mulai mengayuh sepeda cewek itu. Menyusuri jalanan yang mulai menurun.. tak hentinya putri berkomentar mengenai tempat ini yang dikatanya indah, rupanya sudah bosan dia dengan asap dan bangunan tinggi dari pabrik yang menjamur di tanah asalnya di daerah bekasi. Ya memang harus kuakui jika tempat ini akan memberikan hiburan tersendiri bagi orang yang berasal dari kota.
Jalanan yang menurun membuat terpaan angin semakin lembut menyentuh wajahku.
Guguran serbuk sari pohon jambu air dan rontokan kelopak bunga bugenfil yang keunguan yang terbawa angin membuatku seolah sedang mengunjungi festival Hanami pada bulan oktober.

Kuminta dia turun saat jalan mulai menanjak dan aspal tak lagi menyentuh kawasan itu, hanya setapak kecil dari jalan yang masih berupa tanah dengan pembatas rerumputan gajah di kanan kirinya. Gemericik air yang mengalir sebagai urat nadi irigasi persawahan terdengar samar oleh suara putri yang mengajaku ngobrol..

Setelah bebreapa menit akhirnya kami sampai, disebuah tempat rahasia yang kusebut sarang.. ini hanyalah sepetak tanah lapang di bukit kecil di dekat area perkebunan cengkeh yang berbatas hutan konservasi milik BKSDA, secara kepemilikan tenah disini adalah milik keluargaku, hanya saja belum dikelola. Sebuah gubug kecil berdiri diatasnya, terbuat dari anyaman bambu dan pelepah daun kelapa sebagai atapnya.

Tidak ada rumah disekitar sini, barang sekali dua kali beberapa orang lewat untuk mencari pakan ternaknya. Tempat ini merupakan tempat yang sering kukunjungi, untuk menyendiri dan sembunyi, entah dari apa. Sering juga kuhiraukan peringatan orang-orang tentang beberpa rumor negatif mengenai tempat ini, sama sekali tidak aku gubris.

“kamu suka?” tanyaku pada putri yang memutar pandangan ke segala penjuru, menikmati setiap jengkal panorama yang disuguhkan alam..

“suka banget nu..” katanya dengan memandangku..
Ada perasaan aneh berbarengan dengan kami yang saling memandang.
Hangat... berdesir... menyenangkan, jantungku terasa berdebar kencang. Seperti hormon adrenalinku meluncur cepat membawa sensasi aneh yang melewati jantungku, serasa seperti aliran sungai progo yang deras saat hujan mengguyur Adikarta.

Kami duduk digubug itu, membicarakan beberapa hal yang sepela sampai bunyi gemeresak di semak-semak memancing rasa ingin tau putri..
Rerumputan ilalang itu bergoyang, dapat dipastikan bahwa ada mahluk hidup yang sedang berjalan diantaranya. Putri yang serba penasaran segera menhampirinya dan mulai menyibak rerumputan setinggi lutut itu. Sebenarnya aku was-was juga karena konon tempat ini “berpenghuni”, kamu tau kan istilah angker... ada hal klenik yang membuat tidak ada warga berani berlama-lama disini karena katanya ada sosok danyang berupa ular raksasa sebesar batang pohon kelapa yang sering muncul. Itulah alasan kenapa tempat ini begitu sepi.

“put, aku rasa itu bukan ide yang bagus. Kita balik aja yuk” bujukku kepadannya.

“bentar deh nu, kayaknya aku denger sesuatu disini” seru putri sambil mengangkat roknya sampai sebatas lutut dan berlari ke tengah rerimbunan pinus..

“put! Tunggu!” teriaku dengan pontang-panting mengejarnya..

Gadis itu lincah sekali untuk ukuran anak kota, mungkin akan lain cerita jika mengetahui gosip tentang tanah angker ini..
Putri berjongkok seperti sedang mencoba mengintip sesuatu disela sisa pohon mahoni yang ambruk dan sudah termakan rayap.

“put!, disini masih banyak ular! Jangan aneh-aneh” kataku sambil memegang bahunya.

Aku tidak tau apakah memang gadis ini memiliki gangguan pendengaran atau karena kepolosanya yang seperti anak-anak membuatnya tidak mendengar nasihatku dan malah merogoh lubang dari sela akar pohon tumbang itu..

“naaaahh nu dapet!” katanya sambil mengobok-obok lubang sedalam lengan itu dan menarik sesuatu dari dalamnya...

“ha??”

Itu adalah anak felis bengalensis. Orang jawa menamainya kuwuk, atau juga biasa disebut blacan.. seekor kucing hutan yang sudah langka berhasil ditangkap putri, anak kucing itu meronta, memohon dilepaskan, berusaha berkelit dengan menggigit dan mencakar, namun putri lebih lincah dengan memegang belakang kepala binatang liar itu, sampai akhirnya ia menyerah.meringkuk ketakutan dalam dekapan tangan putri.

“nu... kasian banget dehh” kata putri sambil menunjuk muka kucing hutan itu..

“loh itu mukanya kenapa?” tanyaku heran karena melihat torehan luka di wajah anak kucing yang mungkin baru berumur beberapa minggu itu..

“ gaktau nu, kita bawa pulang yayaya. Biar aku rawat, ini bisa infeksi kalo dibiarin” kata putri merajuk..

Aku tidak langsung menjawab, kutoleh kanan kiri sambil menunduk, berusaha mencari induk kucing ini, untuk ukuran kucing sekecilitu jelas belum di lepas sapih oleh induknya, dengan kata lain induk kucing hutan itu mungkin berada tak jauh dari lokasi ini..

“nu!, mau kemana?” tanya putri sambil menggendong dengan hati-hati kucing malang itu.

“nyari induknya, mungkin lagi nyari makan. Blacan itu buka hewan peliharaan put, dia itu hewan buas. Bukan kucing persia yang bisa kamu ajak main.. lagi pula kita gak boleh misahin dia dari induknya. Aku tau niatmu baik, tapi jangan sampe nanti malah kucing itu stres trus akhirnya mati sia-sia” kataku dengan panjang lebar.

Putri tidak berkomentar banyak, dia masih memeluk kucing itu sambil mengikutiku berjalan..
Kami terus berjalan, melewati pepohonan yang dibiarkan tumbuh liar disini..
Sampai Aku menghentikan langkah sambil menghirup nafas panjang karena mencium sesuatu yang aneh..
Seperti bangkai...
Dan benar saja, tak jauh dari tempat kami berdiri ada bangkai dari anak kucing hutan lain yangtek jauh beda ukuranya dari yang dibawa putri. Dan beberapa meter darinya ada lagi bangkai kucing hutan yang lebih besar..

“ahh aku yakin itu induk kucing itu mur, mungkin ini gara-gara digigit anjing. Liat tu.. lukanya” kata wisnu dari dalam kepala.

Aku hanya mengangguk, kemudian menoleh kearah putri yang melihat kucing liar itu dengan tatapan iba..

“gimana dong nu?, kita tinggalin biar mati gitu aja?” kata putri yang merengek.

“hmmm.. mau gimana lagi mur, biarin aja deh dari pada mati kelaperan” kata wisnu memberiku pertimbangan..

“yaudah yok, tapi sampai dirumah dirawat ya” kataku kepada putri.

“iya nu, beneran deh bakal aku rawat. Nanti aku ajak papa ke kota buat ke dokter hewan. Ini dia kayaknya lukanya parah lo” kata putri sambil menunjuk muka anak kucing itu yang terluka seperti cakaran.
--
Kami segera pulang, kukayuh sepedaitu buru-buru karena putri berencana membawa binatang itu ke dokter hewan bersama ayahnya..

“Nu makasih ya, kayaknya aku buru-buru deh mau ngajak papa buat ke kota” ucap putri begitu kami sampai depan rumahnya yang ternyata tidak begitu jauh dari rumahku.

“iya put... aku langsung pulang ya..” kataku sambil memberikan salam..

**
Aku membayangkan kejadian tadi, putri.. gadis yang lucu, polos dan baik.. suaranya yang cempreng terdengarlucu ditelinga dan teringat selalu dikepala. Hari itu aku pulang menjelang maghrib. Membuat orengtuaku heran. Tidak biasanya Wisnu murti pulang terlambat.
“tadi main sama temen” begitu jawab wisnu. Terlihat ada seringai senang dan heran dari kedua orantua kami. Antara heran sejak kapan aku belajar bergaul, dan senang akhirnya aku dianggap bisa bergaul. Yaa kupikir ada baiknya beliau berfikir seperti itu.

Aku sedang membaca buku-buku lama, salah satu buku yang tengah menarik perhatianku adalah sebuah novel lama terjemahan dari perancis berjudul papilon.
Saat tengah asik menyimak tiba-tiba hanphoneku berbunyi..

“iya put gimana?” sapaku dalam telefon.

“nu.. kucingnya udah dirawat tadi, tapi butuh oprasi karena matanya udah kena infeksi, akhirnya diambil deh mata kananya. Huhu kasian ya” kata putri dengan semangat.

“yaudah yang penting udah di obatin kucing tadi. Dirawat yang bener. Tapi kalo besok ada BKSDA minta tu kucing harus kamu serahin, soalnya setauku blacan itu binatang dilindungi”

“iya bos siap. Hehe.. aku udah punya nama buat dia nu”

“siapa namanya?”

“namanya Dajjal. Hehehe, soalnya matanya Cuma satu hihi..”

“njirrr.. itu kucing kamu namai kayak iblis aja” jaawabku dengan heran..

Begitulah gadis itu, gadis dengan pemikiran yang tidak terduga. Akan ada banyak cerita tentangnya, dan juga tentang kucing bernama menyeramkan itu. Dalam cerita-cerita selanjutnya akan aku ceritakan padamu teman. Tentang bagaimana dia akan merubah hidupku.
Juga akan aku ceritakan lebih banyak beberapa petualanganku yang rasanya akan sulit disebut sebagai kenyataan..
Hidupku sebentar lagi tidak akan sama, begitu juga dengan hidup wisnu. Semua yang begitu aneh akan berubah menjadi begitu rumit...
CERMIN Part 7 CERMIN Part 9
Share:

Senin, 03 April 2017

MENGEJUTKAN MEREKA | CERMIN Part 7

Aku bermain khayal, mengubah bayang dikepala menjadi gores kuas cat air yang kasat mata. Kubuat pola wajah dan molek tubuh seorang ayu di masa lalu. aku tidak pernah melihatnya. orang tertua di bumi yang masih hidup pun belum tentu pernah bertemu dengan orang yang berusaha ku lukis ini. wajahnya belum pernah terdokumentasi, potret dirinya tidak pernah sekalipun dibuat karena orang ini bereksistensi jauh sebelum Louis jaqcues monde Da Guerre lahir. Entah kenapa aku jadi tertarik dengannya mungkin karena buku sejarah yang kubaca kemarin, seorang gadis yang katanya jelita tiada tara diseantero tanah jawa, memancing kemelut dan perebut pangeran serta raja nusantara untuk mempersuntingnya. Kisah hidupnya tragis karena memilih mati atas dasar harga diri dan martabat yang diinjak oleh perkara cinta yang berpolitik. Sayang, William Shakespeare terpisah ruang dan waktu dari orang ini. jika tidak, mungkin dia akan menulis cerita ini menjadi sebuah karya klasik yang melegenda. Catatan tentang dirinya sangat minim. hanya disinggung dalam sebuah pararaton kidung sunda mengenai Dyah Pitaloka Citraresmi.

Kupampang gambar itu didepan wajahku sambil memiringkan kepala. Mencoba menilai hasil buah karya yang baru saja kubuat.

“kamu yakin Citraresmi mukanya kayak gitu?” tanya murti didalam kepalaku.

“yaa. Kira-kira aja” jawabku sambil memberi selotip ganda pada balik kertas itu dan menempelnya didinding kamar.

teman, kalian tentunya sudah tau tentang kebolehan Murti meniup flute, sedikit berbeda dengan dia, aku lebih suka bergaul dengan gambar dari pada nada, walaupun sebenarnya masing-masing dari kami bisa melakukan keduanya tapi ini perkara kesenangan.

Kupandangi gambar buatanku tadi untuk sebentar, melihat dari prespektif kiri dan kanan yang berbeda, mencoba mencari sisi menariknya. Yaa pada intinya aku puas, meski tidak bisa aku bandingan coretan asal ini dengan De aardappeleters karya Van Gogh. Jelas aku sangat konyol jika menyamakan karya ini dengan lukisan kenamaan dari seniman yang bergaya pasca-impressionist itu, sedangkan aku sedikit banyak terpengaruh oleh karya ibuku.. Kuhiraukan Murti yang sedari tadi memprotes bahwa gambar gadis yang kubuat terlalu mengada-ada, menurutnya tidak ada putri raja seperti itu pada abadke 13 dan juga malah terkesan menyeramkan seperti Nyi Roro kidul.

“kamu terlalu terpengaruh disney nu, apa jaman dulu itu style rambutnya kayak gitu? Apa lagi Citraresmi itu mungkin Cuma bentuk propaganda aja, di kitab Negarakertagama sama sekali gak disinggung mengenai perang bubat yang ngerebutin Citraresmi itu” sekali lagi Murti memprotes, kali ini dia gunakan dalil pemahaman mengenai sejarahnya yang dangkal itu.

“brisik mur!, ini Cuma gambaran biasa aja napa diributin sih? Protesmu juga aneh. Katanya tadi kayak Nyi Roro Kidul, trus kayak gambar kartun disney. Yang bener mana? Apa iya Nyi Roro Kidul jadi salah satu Disney Princess” kali ini kujawab dia dengan dongkol, dan tidak hanya melalui bahasa pikiran, melainkan bibirku juga ikut berucap.

Kami terlibat debat, memang tidak selamanya kami akur. Ada kalanya kami meributkan hal-hal sepele, layaknya kakak beradik pada umumnya. Hanya saja jika orang lain melihat wisnu murti yang berbicara dan di jawab sendiri seperti itu akan menjadikan anggapan miring.

Dan benar saja, situasi yang sebelumnya kuanggap sudah aman dari keluargaku ternyata salah, begitu aku menoleh kebelakang ternyata ibu sedang memperhatikanku sambil bersandar diambang pintu. Murti sontak berhenti bicara dan sekali lagi mencampakanku dari masalah yang dibuat olehnya.

“ehh ibu.. kok tumben jam segini belum tidur?” tanyaku dengan tergagap

“gimana mau tidur, wong kamu aja ribut sendiri dari tadi?”

“ehh.. iy bu, maaf deh” jawabku.

“kenapa? Lagi berantem sama murti?” kata ibu dengan lembut seraya masuk dan duduk disampingku.

Satu-satunya orang dirumah yang seolah percaya bahwa Murti itu nyata hanyalah ibu, nanda tidak pernah menyinggungnya. Sedangkan Ayah menolak mentah-mentah setiap apa yang kukatakan tentang Murti. teman, kalian tau? sebenarnya aku paham ibu tidak sepenuhnya percaya tentang Murti. menurutku ibu hanya berusaha menjaga perasaan Wisnu Murti yang dianggap kurang waras.

Belliau duduk disampingku, didepan meja belajar sambil ikut memandangi lukisan Citraresmi tadi, dia menyibak rambut yang menutupi keningnya, harum perfumnya yang beraroma pinus masih terasa memanja hidungku, ibuku adalah wanita yang cantik diumurnya yang lebih dari 40 tahun beliau tetap terlihat menawan, sangat selaras dengan sifat lembutnya kepada setiap orang. Mata lebarnya memicing, berusaha menangkap detail dari tiap gradasi warna yang kubuat, kemudian berkomentar.

“ini kamu gambar siapa nu? Nyi Roro Kidul?” kata ibu dengan heran.

Mendengar itu Murti sontak tertawa keras sambil mencibir dari dalam kepalaku.

“hahahaha, bener kan nu! Itu lebih mirip Nyi Roro Kidul”

Kuhiraukan ejekan Murti dan beralih kepada ibu lagi.

“itu Citraresmi bu, dari Sunda.. bukan Nyi Roro Kidul”

“ohh abis kayak Nyi Roro Kidul sih, hmmm kamu ngelukis gadis sunda jangan-jangan karena si Putri tadi sore yaaa?” goda ibu sambil tertawa kecil.

“tuhh mur, kamu yang naksir aku yang di tuduh” kataku dalam pikiran dan membuat Murti diam tak berkutik.

“hehe, enggak kok bu. Lagi dapet inspirasi dari buku aja” kilahku kepada ibu.

“gapapa kok nu, jangan malu. Sudah saatnya kamu harus punya teman” kata ibu sambil membelai rambutku kemudian berlalu pergi.

Kututup pintu kamarku, dan mengganti lampu utama menjadi lampu tidur yang tergantung dibawah lampu utama, kemudian merebah di kasur. Cahayanya redup cenderung gelap, ditambah lukisan pohon disekeliling kamar membuat presepsi pikirku berubah dimana aku tidak lagi merasa berada di hutan Biatowieza, melainkan tengah berbaring di bawah rimbunnya black forest. Sebuah hutan yang konon sangat kelam di salah satu bagian Jerman. Aku menyukai tempat yang gelap seperti ini, aku justru merasa aman di kegelapan. seolah bisa sembunyi dari mulut-mulut munafik itu dan segala cibiran mereka.

“kamu mau belajar malam nanti?” tanyaku pada murti..

“tubuh ini butuh istirahat nu.. kita terlalu memaksakan diri. Aku akan tidur juga” jawab murti pelan.

Teman, seperti yang kamu tau, Wisnu murti hanya memiliki satu tubuh yang digunakan secara bergilir. Saat aku tidur murti bisa tetap terjaga dan beraktifitas. Begitu juga sebaliknya.. ketika aku terbangun dari tidurku kurasakan pikiranku kembali segar, begitu juga Murti. tapi ada satu hal yang tidak boleh kami lupakan,yaitu tubuh ini.. tubuh Wisnu Murti ibarat sebuah mesin otomasi yang dioperatori dua orang, operatornya secara bergantian bisa istirahat tapi mesin yang terus berjalan lama kelamaan bisa rusak. Seperti itu juga tubuhku yang tidak bisa menahan resistansi dari aktivitas dua orang yang dijadikan satu.. karena jarang tidur, faktor pikiran dan stres yang berakumulasi dari dua orang membuat tubuh ini melemah dan sering sakit. Terakhir bobotku ideal dengan 55kg, sekarang hanya tersisa 40kg. Yang membuatku seperti tulang terlilit kulit...

“ya, ide bagus.. “ kataku sambil mengatupkan kelopak mataku.
......
......
Mungkin belum ada lima menit saat aku terlelap, tiba-tiba handhope yang kutaruh diatas meja berbunyi nyaring. Saat kesadaranku kembali tanpa sadar aku sudah duduk didepan meja sambil menatap layar handphone, mungkin karena murti yang masih terjaga dia mengambil kendali tubuh ini.

“nomor siapa ini mur?” tanyaku yang ikut melihat nomor asing yang terpampang di layar.

“gak tau...” jawab Murti sambil mengangkat telfon.

“haloo, wisnu?” kata orang yang menelfon

“iya..siapa ini?”

“ini putri..” jawabnya, dan kuketahui si penelfon ini adalah orang yang sore tadi meramaikan rumahku.

“oh iya put. Ada apa?”

“gini.. aku tadi lupa nanya jadwal pelajaran buat besok, besok mapelnya apa aja sih?”

murti menjawab pertanyaan putri tentang apa saja mata pelajaran buat besok, dan pertanyaan-pertanyaan lain mengenai sekolah barunya yang juga dia tanyakan. Obrolan mereka mengalir dan membuatku sedikit lebih mengenal putri. Dia gadis yang periang tapi tidak terlalu bawel jika dibandingkan beberapa cewek sekelasku.

Obrolan mereka berhenti dengan telfon yang ditutup lebih dulu oleh putri. Meninggalkan Murti yang tersenyum penuh arti.
--
Hari itu adalah rabu, sebenarnya malas sekali berangkat karena kejadian kemarin. Tapi hari rabu tidak bisa Murti tinggalkan. karena hari rabu ada mata pelajaran favorit yang diberikan oleh guru favoritnya. Pak Johan, muda, ganteng, penampilannya selalu bersih dengan kemeja rapi yand dipadu celana katun bersepatu kulit yang mengkilat, kamu akan bisa berkaca lewat sepatunya. Tidak ada kalimat rasis dari tutur katanya,tidak seperti guru matematika jadul kemarin. Dia memberikan semangat kepada muridnya untuk mengenal dunia, indah, luas, tak tebatas! Begitu katanya setiap awal pertemuan. Beliau menganggap setiap lekuk bumi adalah harmoni yang cantik. patut di jelajahi dan di syukuri. Lulusan S2 salah satu kampus beken di Jakarta namun tiada tertarik sama sekali menjadi dosen, dia memilih menjadi guru honorer di sebuah SMA pinggiran di Tengah Jawa ini. Katanya gairahnya adalah musik, dan yang membuatnya mau tetap hidup adalah mengajar .
Dengan adanya beliau, Setidaknya ada hal baik yang bisa kuambil dari sekolah menyebalkan ini.

Ditaruhnya sebuah benda kecil berwarna perak mengkilat seukuran kotak rokok diatas meja guru, terasa dadaku bergemuruh. Perasaan ini dibuat oleh Murti yang tidak sabar menunggu jam kedua dari mata pelajaran ini. Karena pak johan membaginya menjadi satu jam teori dan satu jam praktek.
Yang sebenarnya jam kedua mapel ini merupakan hadiah dari pak johan yang biasa bermain musik secara solo

Seni musik juga adalah gairah dari Murti, dia tidak akan bisa hidup lama, tanpa telinga yang mendengar nada, murti adalah fans fanatik yang memiliki jiwa militansi tinggi terhadap beberapa karya klasik seperti moonlight Sonata dan fifth Symphony.
suara pak johan bergelora, menggedor jiwa penakut seperti wisnu murti, membalikan semangat yang mulai kendor menjadi kuat lembali, mungkin masa kuliahnya dulu dia adalah kordinator demo atau malah seorang orator yang berorasi ditengah masa untuk menuntut negeri lesu ini menjadi tegak kembali..

Dan akhirnya saat yang dinantikan Murti tiba saat pak johan mulai duduk di kursinya dan memungut harmonika kromatisnya, dengan permainan meniup dan menghirup beliau membuat sebuah bunyi khas dari benda yang tak seberapa besar itu, indah dan merdu tanpa ada nada yang fals. Kulirik sekeliling. Kelas yang biasa ramai kini hening, tidak ada sama sekali yang ribut, mereka juga tidak ingin kehilangan momen berharga yang diberikan seorang pemusik handal yang juga guru luar biasa ini. Termasuk seorang gadis yang duduk disebelahku, dia tampak berpangku dagu sambil tersenyum dan memajamkan mata, seolah menikmati betul alunan syahdu nada harmonika yang bernada sendu hasil tiupan pak johan..

“Wisnu, mungkin bisa membantu bapak?” kata beliau seraya tersenyum

Secepat kilat tubuh ini diambil alih oleh murti yang sontak berdiri sambil merogoh tas dan mengambil tongkat ajaibnya, itu adalah flute andalanya. Entah apakah antara flute dan Harmonika adalah perpaduan yang pas tapi tentunya aku yakin jika dimainkan dua orang berbakat ini akan tetap indah jadinya. Minggu lalu pak johan memang meminta Wisnu Murti ikut andil dalam konser kecil minggu ini.

“ehh nu, kamu bisa main flute?” tanya putri yang keheranan.

“kamu lihat aja” kata murti yang dengan percaya diri berjalan kedepan kelas.

Selruh isi kelas berbisik, heran kenapa anak aneh itu diminta maju kedepan kelas. Wajar mereka bingung karena mereka belum tau wisnu murti bisa bermain alat musik. Karena mapel pak johan baru ada pada kelas 11 dan sebelumnya diampu oleh guru yang berbeda, hanya mempelajari secara teori yang membosankan.

Sebenarnya aku juga sedikit heran karena tiba-tiba murti jadi sepercaya diri ini. Masing-masing dari mereka memberi kode, antara pak johan dan wisnu murti dan sesaat kemudian sudah terlantun lagu dari Lionel Richie yang berjudul “Hello”.

Kambali momen bisu melanda kelas yang mayoritas diisi cewek cerewet ini, mereka hanya melongo denganmulut menganga berbentuk huruf “O” . tatapan tidak percaya mereka keluarkan secara tak sadar, anak aneh bin kurus bin cupu ini ternyata juga seorang pemusik...

Lagu itu berakhir, dan satu hal yang tidak kuduga adalah terdengar suara tepuk tangan.. meriah!! Betul-betul mereka mengapresiasiku untuk kali pertama selama aku bersekolah disini..

Murti menikmati momen itu, menghirup nafas dalam-dalam merengguk kepuasan setelah penampilan perdananya yang memukau seisi kelas yang ber tigapuluh dua itu.

Kurasakan bola mataku melirik, kesebelah tempat duduku. Murti melempar senyum..
Kepada putri...

Dan akhirnya aku tau kenapa dia begitu percaya diri dan bersemangat pagi ini...
CERMIN Part 6 CERMIN Part 8
Share:

Sabtu, 01 April 2017

SAFE HOUSE | CERMIN Part 6

Rumah bercat biru itu. Sudah kulihat rumahku.. aku turrun dari motor ojek beberapa meter sebelum sampai didepan pagarnya yang terbuat dari besi yang terkorosi, berkarat dimakan musim.
Wanita itu disana, sedang memainkan kuas diatas kanvas, melukis objek berupa bugenfil yang tertiup angin berhawa panas. Dia menoleh dari kejauhan tersenyum saat melihatku sudah diluar pagar. Kubuka pagar itu hingga berbunyi besi yang bergesek. Segera saja senyum yang terkembang tu runtuh, saat aku mendekat. Dia nampak terkejut saat tau aku pulang dengan wajah lebam membiru dan berhias noda darah mengering, baju compang camping yang tidak terkancing.

Wanita 40 tahun itu mendekatiku, dia usap kepalaku dan membelai pipiku. Tidak bertanya apapun karena aku yakin bercerita saja tidak akan membantuku yang baru saja melewati hari yang buruk.
Kudekap tubuh ibuku dengan erat, seperti anak 5 tahun yang minta perlindungan..
Dan disaat yang sama, meskipun tanpa air mata keluar, kurasakan Murti menangis.. bergetar perasaanya yang membaur dengan perasaanku. Perasaan yang selama belasan taun hanya tersampaikan melalui perantara tubuhku tanpa dia bisa menyampaikannya sendiri dengan identitas sebagai anak lain yang bukan Wisnu..

“wisnu.. lain kali hati-hati ya” kata ibu yang merangkul pundaku dan mengajak masuk kedalam rumah..

“mas Wisnu kenapa?” tanya adiku Nanda yang masih SMP.

“gapapa kok dek, mas tadi Cuma jatoh aja” kali ini kubiarka Murti memakai tubuh ini.

Tanganku bergerak, mengusap rambut adiku yang tergerai sebahu ini. Terasa perih bibirku saat Murti memaksa untuk tersenyum di depan nanda.
“aku ambilin obat dulu mas” kata nanda sambil berlar keruang keluarga.

Aku duduk disamping ibu, diatas sofa beludru berwarna merah di ruang tengah ..

“kali ini gak masuk BP kan?” tanya ibu dengan lembut yang hanya dibalas Murti dengan gelengan kepala.

“yang penting sekarang kamu udah sampe rumah, wisnu percaya sama ibu. Suatu saat temen-temen wisnu bakal ngerti kalau berbeda itu tidak musti jelek” kata beliau untuk menenangkanku.

Aku tau yang ada dibenak Murti, dia mau berkata kalau “aku gak punya temen untuk mengerti” tapi segera kularang. Lebih baik menurut dengan setiap apa yang jadi nasihat dari Ibu kami ini..

Kepalaku dibuat mengangguk oleh murti, kembali kami merasakan perih, saat luka-luka ini beradu dengan betadine yang diteteskan oleh nanda yang merawat kami sambil memberondong dengan pertanyaan, “kok bisa sempe gini sih mas? mas wisnu pasti berantem lagi.. Aku gak percaya kalo jatoh”
--

Mataku menerawang, bola mata ini berputar kesekeliling langit-langit kamar, lukisan-lukisan dinding itu terasa hdup, aku seperti berada dibawah lindungan rimbun pohon oak dan pohon spruce yang diterobos berkas sinar matahari yang bergradasi dengan warna latar, membuatku merasa berada di tengah hutan Biatowieza yang ada di Polandia, Itu adalah lukisan yang dilukis ibuku. Beliau adalah seorang seniman lukis realis dengan satu tema, yaitu pohon.. sebuah relief berukir gaya leak bali yang dikolaborasi motif tumbuhan gaya jepara juga terukir di pintu kamarku yang terbuat dari kayu jati yang mengkilat terpliture. Lagi-lagi itu karya ibuku yang juga senimat pahat. Hampir semua dekorasi dirumah kami adalah juga hasil karya artistik ibuku... kubiarkan pintu itu terbuka dan nanda muncul dari ambang pintu sambil membawa benda serupa pipa dari besi dan ikut merebah diatas kasur.
“mas ayo musikan”katanya sambil menyodorkan flute itu kepadaku.

“gak liat ni bibir bengkak dek?” kata murti melalui mulutku

“hehe, salah siapa berantem mas, mbok jangan nakal mas kalo disekolah” katanya dengan tengil

Kuacakacak rambutnya dan kuambil flute yang ada ditangannya sambil meniupnya dengan pelan karena bibirku yang mulai jontor dan membengkak.

“pelan aja ya”kata Murti sambil memonyongkan bibirnya dan ujung bibirku menyentuh lipe plate, Jari tanganya mulai bermain pada chord, Wisnu Murti memang sudah fasih memainkan teknik penjarian scales, dari nada kromatis yang terdapat pada tiga oktav flute, dengan pelan murti meniup benda itu hingga menghasilkan sebuah bunyi yang tinggi.

Satu hal yang harus kalian ketahui, keluarga kami adalah keluarga seniman. Ibuku adalah seorang pelukis dan pemahat, sedangkan ayahku adalah seorang guru seni musik. Wajarlah jika kami sebagai anaknya sedikit mempelajarinya, walaupun tak sefasih beliau berdua.

“My knee is still shaking, like I was twelve
Sneakin' out the classroom, by the back door
A man railed at me twice though
But I didn't care
Waiting is wasting, for people like me
Don't try to look so wise
Don't cry 'cause you're so right
Don't dry with fakes or fears
'Cause you will hate yourself in the end”

Nanda bernyanyi menyanyikan sebuah lagu dari ost serial kartun jepang... suaranya merdu sama seperti suara ibuku, dan kini dia mengeja nada dari tangga nada yang dimainkan melalui flute ini...
“Nanda!! Sini bentar” seru ibu dari halaman belakang, dan memaksa kami berhenti bermain. Nanda segera berlari menuju sumber suara, Murti menggerakan tubuh dan terduduk diatas kasur. Kurasakan mulutku membuat senyum simpul dan semakin lebar hingga membuat senyum lebar.. Murti, dia melakukan hal itu karena bahagia, dengan hal sederhana ini.. mungkin juga ini yang membuat Wisnu Murti sering dicap sebagai orang tidak waras. Karena sering senyum sendiri dengan alasan tidak jelas....
--
Murti merebahkan tubuh ini lagi, dan kami sama-sama menahan ngilu akibat dikeroyok tadi.
“sudahlah, itu sudah berlalu” kataku yang langsung diiyakan oleh Murti..

“gimana boy? Katanya tadi berantem lagi?” kepalaku bergerak kearah ambang pintu dan Ayahku melangkah masuk.
Pria hampir 50 tahun itu duduk disampingku yang merebah malas..
“lebih tepatnya dikeroyok yah” kata Murti menjawab.
Beliau menghela nafas sambil menepuk ringan pundaku..”kamu harus bisa jaga diri, jangan biarkan fantasi liarmu itu menguasai ya.. terserah kamu, apa ada baiknya besok Ayah ke sekolahmu buat ngurus ini?”
Kepalaku hanya menggeleng, tanda tidak setuju dengan saran Ayahku..
“kamu sudah besar, dan tau mana yang baik buatmu.. jika ingin semua berjalan baik. Ikuti saran dokter, dan mulailah cari teman. Agar ... yaa seperti itu” ucap beliau seraya berlalu..
Aku termenung, memegangi dada yang terasa sesak, bukan karena nafasku yang mampat atau sakit, namun terasa dari ada sesuatu yang mengisi rongga dadak secara paksa dan tidak nyaman.. Murti.... aku tau dia bersedih lagi saat disebut oleh ayahnya sendiri sebagai “fantasi liar”

“Mur...” panggilku kepadanya.
“udah nu, ga perlu dibahas” jawabnya menolak panggilanku..
Badan ini bergerak, menuju halaman samping rumah.. tampak jelas Murti sedang mencari cara untuk menghapus jejak sedih yang diakibatkan ucapan ayah tadi... dan dia memilih membantu ibu dan nanda yang tengah sibuk merawat koleksi kembang petunia dan Black orchid langka yang diberikan seorang kawannya dari borneo.

“mas ambilin alat siram dong” pinta nanda dengan berseru

Murti memutar badan dan menuju gudang untuk mengambil barang yang dimaksud nanda, sebelum kembali kehalaman murti bergerak kedapur dan menuang segelas air untuk minum.. hari ini sudah cukup sore, namun masih terasa panas.
Dan begitu kembali ke halaman aku melihat pemandangan yang ganjil. Perlu kalian ketahui, halaman rumah kami berbentuk letter L, yang bermula dai samping rumah dan berbelok kebelakang rumah. Dan pada depan halaman ada sebuah pagar kecil dengan tinggi hanya semeter yang terbuat dari kayu untuk pembatas dari jalan trotoar. Jadi para pejalan kaki yang kebetulan lewat dapat melihat isi halaman rumah kami yang didekor dengan apik oleh ibuku. Satu hal yang tidak biasa adalah saat aku lihat seseorang dari balik pagar sedang berbicara pada ibuku.. dan itu adalah orang yang kami kenal..

“putri..” Murti menggumam pelan, dan sejurus kemudian namaku dipanggil.

“wisnu, sini.. ini ada temennya mau ketemu” kata ibuku sambil membuka pagar untuk mempersilahkan putri masuk.

Murti berjalan mendekat, dengan sebuah tanda tanya besar di kepala kami, ada perlu apa anak baru itu kesini?

“wiiihhh cantik mas.. tumben banget ada temenmu mampir” kata Nanda sambil cengengesan..

“apa to dek”jawabku sambil terus berjalan pelan kearah putri yang sudah duduk di bangku besi di tengah halaman.

“kamu kok gak bilang to nu kalau ada temen yang mampir, ibu buatin minum dulu” kata ibu sambil berlalu meninggalkan kami, terlihat nanda juga mengekor dibelakang ibu.

“loh put ada apa kok tiba-tiba kesini?” tanyaku sambil ikut duduk didepanya”

“gak ada apa-apa kok nu, Cuma mau ngasih ini..” katanya sambil menurunkan tas dipunggungnya, dan ternyata itu adalah tas sekolah milikku.. yaaa aku bahkan sama sekali tidak ingat saat kami pulang tadi, tas itu masih ada di kelas..

“ehh.. iya aku lupa. Mma makasih put” kata Murti dengan sedikit terbata...
Kami memang jarang berkomunikasi dengan orang lain, hanya sebatas jika ditanya, sisanya hanya diam...

“aku tadi liat kamu nu...” katanya sambil memandangku...

“ohh.. maaf kamu harus lihat itu, diem aja ya. Jangan omong siapa-siapa” jawab murti...
Putri mengangguk pelan tanda mengerti.

“aku sebenernya mau nolong kamu pas tadi di halaman belakang, niatnya mau ambil obat di tas, tapi pas balik kamu udah gak ada, masih sakit nu?” ucapnya dengan pandangan mata yang menurutku ... emm aku tidak tau pasti tatapan macam apa itu, rasanya aneh..

“udah gak apa apa kok, makasih ya put” kata murti dengan suarayang terdengar kikuk..

“kamu tau dari mana kalo aku tinggal disini?” tanya murti yang heran kenapa dia bisa sampai tau rumahku.

“ahh, gampang aja kok nu. Tadi tanya temen-temen”
--
Putri memandang sekeliling. Sepertinya dia tertarik dengan ornamen dan hiasan yang sengaja dibuat ibuku untuk mempercantik halaman ini..
“nu .. apa itu petunia?” tanya putri sambil menunjuk beberapa bunga yang tumbuh jamak di dekat pancuran air.

“iya” jawab murti..

“aku boleh lihat?” pintanya.

Murti mengangguk dan berdiri kemudian berjalan diikuti putri yang mengikutinya..
Aku melihat gadis itu tersenyum sambil berjongkok di dekat kumpulan bunga berwarna terang itu, matanya menelisik melihat dari ujung sampai pangkal bunga milik ibuku itu.dia tersenyum, pipinya mengembang dengan lesung pipi yang menawan, sudah kukatakan sebelumnya bahwa putri ini adalah gadis yang cantik, entah apa yang membuatnya terlihat cantik, mungkin karena kulitnya yang putih? Atau hidungnya yang mancung?
“wah kayaknya lagi asik nih” suara nanda membuat kami menoleh. Terlihat dia sedang membawa nampan berisi dua gelas minuman, dan dibelakangnya ada ibu yang menenteng dua toples camilan.

“ayo mbak minum dulu” ajak ibu dengan suara yang ramah..

“duhh jadi merepotkan tante” jawab putri sedikit basa-basi sambil berjalan menuju tempat duduk tadi.

“tante, aku mau tanya. Kok bisa banget bikin taman sebagus ini sih?” tanya putri dengan antusias.

“ohh gampang, putri mau belajar?”

“ehh emang boleh tante?” tanya dia lagi.

“ya boleh dong, syaratnya satu” kata ibu

“apa itu tante?”

“kamu harus sering main kesini” kata ibu sambil tersenyum

“hihi iya tante. Kalau ada waktu saya bakal main sekalian belajar” balas putri

“yeee, beneran lho mbak.. jadi kan aku punya temen. Bosen maen sama mas wisnu mulu” kali ini Nanda yang ikutan bicara..
hari itu kami ngobrol ditaman, bersama putri, ibu dan nanda. Sebenarnya aku tidak ikut nimbrung. kubiarkan Murti menikmati sore itu.. ibu dan nanda terlihat senang saat ada seorang yang mengaku sebagai temanku mampir kerumah, menurut mereka ini adalah sebuah kemajuan. Dan Putri adalah gadis yang menyenangkan baru kali ini ada orang yang begitu peduli dengan wisnu murti, dia tidak menghindar dari Wisnu Murti tapi malah mendekat, aku yakin dia sudah mendengar rumor tentangku yang dianggap mereka tidak waras. Tapi entah lah kenapa itu tidak mempengaruhinya.
--
“makasih ya put” ujar murti saat mengantar putri didepan pagar.

“iya aku juga seneng, ibu sama adikmu menyenangkan. Besok aku mampir lagi ya”

“eh beneran?” kata murti

“iya, kenapa? Gak boleh nih?”

“eehh boleh kok, boleh banget malah”

“hhi yaudah, bye wisnu.. sampai jumpa besok.. aku tau sebenernya kamu gak kayak apa yang mereka omongin” ucap putri sambil melambai dan berjalan pulang

Badanku termangu, menatap gadis berkerudung dan berseragam osis itu berjalan pulang. Aku tau satu hal karena apa yang dirasakan murti ikut aku rasakan, ada perasaan nyaman didada.
Putri... gadis yang baru sehari dikenal oleh kami. Nampaknya akan menjadi sebuah cerita baru dalam hidup kami....

CERMIN Part 5 CERMIN Part 7
Share: