CERMIN (Prolog):





Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.

Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi pembaca Blog Saya.
kali ini saya WN, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari
dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.

cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara. Dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??

cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,

pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal

semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.


ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!







Minggu, 29 Januari 2017

-Tanjung Janji-

-Tanjung Janji-


“Kuajak kalian berkelana, meninggalkan Jawadwipa yang selalu menjadi latar tulisanku. Bersamaku kalian akan menjajaki sebuah tempat di pulau seberang, sejenak mari lupakan gunung, pohon pinus dan sawah.Ayo pergi dari tanah jawa untuk sebentar saja, dan kita berkunjung ke lautan luas, pohon nyiur, pantai yang panjang, dan pulau yang bergugus. Mari kita ganti gelar priyayi menjadi datuk. Kita akan kunjungi seorang kawan yang sedang berjuang di bumi Andalas”
-WN-


Follow ig: @wn.naufal, Blog: wnnaufal.blogspot.com


-------------
Tanjung Janji
Bertapa pilu, berteman rindu
Dimanakah kamu gadis bermata lugu?
Secarik doa terbaiat.
Segenggam harapan berkelebat.
Kutunggu dia sang penjanji
Untuk tempat hati berhenti
-Bentang Samudera

-----
“Dias!!” teriaku kepada perempuan yang mulai mendayung sampan di pinggir sebuah tanjung di kampung kami itu...
Gadis itu menoleh dan melambaikan tangan sambil berteriak

“Bentang!!,kau ini macam hantu ja, sejak kapan kau disitu?!” serunya sambil menepikan perahu kecil dari kayu teruntum itu...

“siapa kira kau datang secepat ini, tiada selembar kabar pun terlayang, kalau tidak ada anak dusun yang berkata kau sudah pulang, maka hari ini tentunya aku sudah bekerja seperti biasa” jawabku yang masih terengah mengatur nafas karena berlari menuju batas pantai...

Dia masih sama saja, tiada berubah raut wajah itu.. mata terpicingnya bukan karna menahan sinar pagi. Tapi dia memang selalu begitu dengan mata sipitnya...

“haha ya maafkan aku ini Bentang, bukan berarti lupa padamu kawan. Hanya saja ingin kucoba sebaik apa ingatanmu. Dan kau ini memang tak pernah berubah,selalu luput dengan janji:” ujaranya dengan langkah kecil, kaki-kakinya berlari ringan diatas pasir putih pantai ini..

“baru saja aku ingin berenang, tapi kau sudah terburu kesini” kata gadis bernama Dias itu.

“kau pulang jauh-jauh menempuh jarak panjang hanya untuk ini??” tanyaku dengan terheran.

“apalagi yang buat kurindu?, pantai disana tak seindah disini. Disana berbau besi berkarat dan airnya terasa berlendir di kulit” ucapnya sambil terduduk di hamparan putih pasir laut ini...
Kududuk disampingnya, kulempar pandangan mata kebatas cakrawala didepanku. Dias benar, tak ada pantai selain disini... bening sangat airnya, terpantul bias sinar kemilau tiap mata memandang kelaut, debur tenang ombak dan semilir sejuk angin berbau garam ini selalu sedap dinikmati, tambah lagi pantai sepi ini mempunya pohon nyiur yang tak terhitung jumlahnya, tak perlu kau keluarkan rupiah untuk meminumnya, kau hanya butuh parang dan keterampilan memanjat untuk menikmati sebutir kelapa dengan sensasi rasa soda ini..

Dari jauh kulihat perahu uwakku sudah terkembang layarnya dan bersiap menyongsong laut untuk menangkap hasil pancinganya. Kuurungkan niatku untuk bekerja pagi tadi, karena kudengar kabar tentang kedatangan kawan lama yang sudah begitu kunanti kepulangannya...

Lihatlah dia yang makin elok, rambut yang dulu dia potong agar nampak serupa pemuda kampung kami, kini tergerai sepangkal leher, tak lagi dia pakai celana pendek lusuh dengan tambal sulam disana-sini, kaos kedodoran dengan robekan sepanjang ketiak juga sudah tidak lagi dia kenakan....
Satu hal yang tak pernah berubah sekali saja adalah kulit putih dan mata sipitnya, gadis keturunan Tionghoa ini tetap putih, meski sedari kecil sudah terpanggang matahari di kampung terpencil yang kutempati...Dias, kini kau nampak anggun sekali ...

“hei Bentang.. tak rindu kah kau denganku?, sudah 3 Tahun tak jumpa seperti ini” kata dia dengan membersihkan sisa pasir yang tertempel basah di kakinya..

“siapa yang tidak rindu denganmu Dias, kita sudah berkawan sedari kecil. Sejak kau merajut mimpi di negeri itu, tidak seharipun aku tak rindu, sering ku termenung bosan didermaga sekedar menunggu petugas pos membawa kabar darimu” jawabku sambil memungut cangkang tiram yang tertelungkup disamping tanganku..

Dias menghela nafas panjangnya, tanganya dia tengadahkan kelangit dan senyum lebar tersungging diwajahnya yang mulai terlihat kemerahan. Gadis ini tidak menghitam kuitnya walau tersentuh panas matahari selama berjam-jam, dia hanya akaan terlihat bersemu merah. Seperti kepiting yang direbus... dia rebahkan dirinya di pasir sambil memejamkan matanya yang kecil...

“senang sekali akhirnya aku sampai juga kesini tang, akupun menahan rindu kepadamu, aku ingin seperti dulu, berenang dan menyelam, mencari kepiting dan teripang seperti dulu”

“kalau seperti itu baiklah, ayo jangan tunggu waktu lama, sebelum matahari meninggi sebaiknya kita cari kepiting dan rajungan untuk makan kita siang ini” ujarku dengan meloncat dari duduku..

“dias, ayoo” kataku sekali lagi karena gadis itu hanya memandangku dengan tubuh tetap terbaring di pasir...

“sebentar,kutunjukan padamu sesuatu yang menarik” kata gadis bertubuh tinggi itu...
Apa yang dia lakukan?? Dia membuatgerakan tangan sepert burung yang mengepakan sayap, kakinya membuat gerakan menggunting.. aku belum paham sama sekali sampai dia berdiri dari baringanya...

“ini adalah Peri pasir” kata dia sambil menunjukan bekas cekungan pasir basah yang dibuat dari gerakanya tadi, membuat bentuk pola yang aneh..

“ohhh.. ya, apalah itu terserah kau saja dias, aku tidak pernah paham apa yang kau bicarakan”
Jawabku dengan asal seraya berlari menyongsong sampan yang dia ikatkan kesebuah tonggak bambu yang tertancap di pantai..

Sebernarnya aku paham, apa yang di maksud Dias adalah Peri Salju, kebiasaan budaya orang barat tiap musim salju datang, tapi memang aku sering begitu, sering berpura-pura tidak paham agar Dias menerangkan dengan panjang lebar hal-hal yang tidak kuketahui, tentang dunia diluar sana, tapi hari itu aku simpan masalah peri pasir tadi untuk bagian terbaiknya, yaitu berenang, memancing dan menyelam di laut tenang pulau ini., bersama Dias tentunya...

Kugulung tambang pengikat itu dan kulempar kedalam sampan, dan sampai kulihat entah sejak kapan Dias sudah duduk diatas perahu yang bahkan belum terapung di air itu..

“kaui ingat kan tang? Dulu tiap kita melaut kau selalu mendorong sampan dengan aku yang suda duduk didalamnya, baiknya jangan kita lupakan kebiasaan itu” ujarnya dengan senyum manisnya, terlalu manis bahkan.. untuk gadis dengan sikap kelaki-lakian yang dulu kukenal...

Kudorong sampan itu tanpa menyanggah ucapan Dias, dan begitu terapung perahu kecil itu, kudayungnya menuju ketengah laut. Dias duduk menghadapku,dengan matanya melirik keair yang melewati sisi sampan yang meruncing. Kata dias desain sampan yang paling baik adalah yang runcing seperti ini,hidrodinamis untuk membelah air agar perahu bisa melesat dengan lancar...

Dias adalah temanku semenjak sekolah dasar,sampai lulus sekolah menengah atas.. jika bukan dengan dia aku berkawan, mungkin aku akan berakhir sama dengan mayoritas pemuda kampungku.. sebatas tamatan SD, dengan pekerjaan tak jauh dari juru panggul beras di pelabuhan. Beruntung aku bisa bersekolah sampai bangku SMA, walau harus kutempuh dengan bersepeda sejauh 30 KM ditambah memboncengakan Dias, tapi smua berakhir baik. Paling tidak pekerjaanku dengan ijazah SMA sedikit lebih bergaji dari pada kawanku yang tidak seberuntung aku. Kuingat waktu itu, saat aspal, listrik dan peradaban yang sudah kalian nikmati sejak lahir belum mampu kami rasakan. Kami bersepeda menerjang panas dan hujan, perjalanan jauh membuat betisku makin berurat, udara panas pesisir membuat kulitku menghitam legam, ditambah keringat yang deras membuat diriku nampak mirip betul dengan sebuah patung kayu ebony yang di pliture.
Tidak ada siswi sebaik Dias. pengetahuanya tentang belahan bumi lain diluar pulai kami jauh melebihi kami, tak tau lah dapat dari mana dia tentang nama-nama kota yang asing ditelingaku itu. Liverpool, London, dan apa lagi aku tak ingat betul apa yang dia lanturkan waktu itu. Dias itu adalah perpustakaan berjalanku.
Dias selalu menemaniku, rumah kami bersebelahan, tidak heran jika aku dan Dias sangat dekat
Dias mengajariku banyak hal, bahwa dunia itu luas.. terlalu luas untuku menghabiskan sepanjang hayat di kampung yang hampir tidak terpeta ini...

Angin bertiup, membuat rambutnya berkibar, untuk sejenak jantungku berdegup. Aneh rasanya dan terasa asing, gadis di depanku ini apakah benar jelmaan Dias? Kenapa kecantikanya begitu terasa setelah sekian lama tak berjumpa?, kuakui sejak dulu bahwa Dias sebenarnya adalah gadis yang cantik, tapi semua tertutup oleh sifat anehnya, dia tak segan berkelahi dengan pemuda kampung yang berbadan besar, dia adalah penyelam nomer wahid di kampung kami, keahlianya selain menyelam adalah memanjat pohon kelapa. Seperti beruk yang sangat lincah, dan sepak bola serta pencak silat aliran harimau sumatra adalah olah raga andalanya. Selama bertahun-tahun kecantikan fisiknya seolah tertimbun sikapnya yang serba tidak mau tahu itu.. tapi kali ini, kurasakan dia bukan lagi Dias yang kukenal, kecantikanya begitu terpancar. Sebanding dengan laut yang membiru dan langit yang bersih tak berawan ini, membuat keindahan yang terasa padu...

“ada apa tang?, kau ini macam melihat lauk ditengah puasa saja” kata dias yang membuat lamunanku terhenyak..

“haha, ya.. ku hanya ingin tau, dari mana kawanku ini belajar bersolek?, kuingat bahkan masa SMA sekalipun gincu yang ibumu belikan tidak pernah tersentuh bibirmu”

“haha, yaa semenjak menginjakan kaki disana aku tau tang, bahwa aku harus berubah. Kau ingat petuah Pak Safei kepada kita dulu? Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, disana bukan tanah melayu, jadi mau tidak mau aku harus merubah diri, apa perubahanku terlihat aneh buat kau?” jawab Dias sambil memainkan rambut panjangnya.

“ahh, aku samasekali tidak keberatan.. kita sudah dewasa, sudah patutnya kita berubah” jawabku dengan mendayung sampan..

“benarkah itu tang?, kutinggalkan kau selama 3 tahun merantau tapi tak banyak berubahnya sama sekali, selain kulitmu yang makin menghitam itu” dia mengolok sambil terbahak..

“apakau tak lihat badanku yang kian kekar ini?” jawabku sambil menunjukan otot-ototku yang terlihat menonjol..

“Dias, ceritakan padaku.. tentang tempatmu disana, apakah benar seindah yang kau tulis dalam surat-suratmu itu?” tanyaku kepada dias. Aku selalu senang mendengar ceritanya, dia adalah presenter kesukaanku, jika dibandingkan dengan pembawaacara di program Dunia Dalam Berita milik TVRI tentunya Dias jauh lebih baik.

“aku sebenarnya tak mau menceritakanya tang” jawabnya pelan

“eeii, kenapa pula? Seingatku kegemaranmu itu bercerita kan?” kataku dengan nada yang kecewa..

“karena aku tak sekedar ingin menceritakan padamu tang, aku ingin menunjukanya. Ingatkah kau? Tentang janjimu sendiri, bahwa kita akan kesana bersama? Jangan buat nama yang diberikan orang tuamu mubazir. Dengan sepanjang umur berdiam disini, tengoklah disana, di batas mata kita bisa memandang ternyata ada gedung, ngarai, pemukiman, teknologi, dan semua yang jarang kita lihat.. tang... aku akan kembali kesana, tapi kuharap bersamamu aku akan kesana lagi. Jadilah seluas namamu... Bentang samudera”

Byurr!!!! Dias mengakhiri bicaranya dengan bersalto dari atas sampan yang membuatku teroleng diatasnya.

Tidak langsung kuikuti Dias yang sudah menyelam sangat cepat, seperti ikan kerapuh menyambar mangsa itu.. kutertegun untuk sekejab, dalam mengartikan cakap katanya barusan...

“kenapa kau selalu teringat tentang hal itu Dias? Tentang janji kita di tanjung ini?” sesalku dalam hati karena belum mampu memenuhi janji yang sudah terikrar dari lisanku.
Ibuku, adalah orang yang membuatku tidak bisa menjejakan kaki selain di sejengkal tanah pulau ini.. ibuku sudah cukup renta, menjadi janda puluhan tahun tidak lah mudah.. semenjak aku belum terlahir bapak sudah meninggal.. kini tinggal aku si pemuda berkepala dua yang harus merawat ibuku yang tengah mengeluh sakit vertigo yang sering kumat....

“Jika saja waktu mengizinkan, tak perlu kutunggu lama Dias.. untuk menjemputmu....”

Kuahiri gumamanku dan terjun kedalam air.. air laut yang bergaram ini tidak lagi membuat mataku terpedih, karana aku adalah manusia yang sejak lahir berteman dengan air asin.. kulihat pemandangan bawah air yang semburat bening bercampur biru, anemon itu bergerak memanja, kumpulan clonfish berlindung didalamnya, sebaris ikan pelagis bergerak statis mengjhndari kami yang dikira predator bagi mereka.. ini adalah surga dunia menurut versi ku.. dimana warna yang terhimpun membuat bentuk abstrak nan indah didalamnya. Kuamati keindahan dari terbatasnya indra mataku yang terhalang air... kuamati lagi dan keindahan lain sudah terlihat..

“Dias” kuucap nama itu dalam air, tapi bukan suara yang terdengar melainkan bunyi “Bloooppp” dan bola-bola udara yang naik kupermukaan.. kupaksa paru-paruku bekerja ekstra untuk menahan hampa tanpa oksigen, kutahan telingaku yang terkena presure dari tekanan air yang mengepung dari segala penjuru... untuk apa?? Yaa karena baru kulihat keajaiban, dan kuingin melihatnya lebih lama..
Dias, dia memang seperti lahir tanpa paru-paru, kemampuanya menahan nafas adalah yang terbaik di kampung.. dia seolah melayang diudara yang terasa padat di kulit, dia terbang dan meliuk-liuk di dalam air.. membuat tarian seperti bidadari...

“subhanallah” adalah kata yang terucap secara tidak sengaja, menimbulkan bunyi “blooop” sekali lagi, dan semakin mengurangi oksigen yang berharga keluar dari paru-paruku.
Kuterhenyak merasakah dada yang sesak. Dan menghentakan kakiku untuk meluncur kepermukaan..
“haaahhh.. haaaahhh” kuatur napas yang terasa habis. Kuseka wajah yang tergenang air, menahan silau dari tengadahku menghadap mentari...

Sampai sebuah kepala menjembul dari dalam air....

“kau ni, selama itu didalam air tak terlihat napasmu memburu” kataku kepada Dias, yang tertawa kecil melihatku kewalahan...

“percuma kau bekerja di kapal besar. Tahan napas pun kau kepayahan” ucapnya mencibir..

“kau tunggulah disampan, dan siapkan kail.. aku mau ambil dulu sesuatu didasar pasir” kata dias dengan menghirup nafas panjang lalu tenggelam lagi.. menuju dasar laut sedalam 10 meter ini, terlihat dia dari permukaan bergerak anggun didalam air. Seperti mempercantik gugusan brain corral yang tumbuh jamakdi bawah sana..

Kutarik badanku dan terjembab masuk kedalam sampan, segera kuraih kail dan memasang umpan buatan. Nampaknya ini akan jadi hari keberuntungan buat kami... gumamku dengan harap-harap kecil...
----
Kami buat perapian kecil di lindungan teduhnya pohon cemara udang, beberapa butir kelapa muda hasil panjatan Dias sudah kukupas kulitnya…
Kami menikmati hari itu, seperti sudah lama sekali sejak perpisahan selama 3 tahun antara aku dan Dias.. kulihat dia bertambah menawan secara tampilan, namun tabiatnya tidak akan berubah, dia masih sama saja. Terutama dari bagaimana cara dia makan. Hari itu kami menyantap beberapa hasil tangkapan kami. Seperti, gurita, teripang, beberapa rajungan dan ikan-ikan sere seukuran bungkus rokok. Kulihat bagaimana lahapnya gadis perawan itu dalam bersantap seolah dia sudah berpuasa sangat lama..

“Tang, aku tidak akan lama disini, aku harus segera kembali sebelum masa perkuliahanku selesai. Apa sekali lagi kau akan mengecewakanku dengan tidak ikut bersamaku? Disana kau akan dapat poundsterling yang banyak dengan keahlianmu didalam geladak kapal” ucap Dias sambil mengeruk daging kelapa…
Aku terdiam, tidak langsung kujawab kaliamat ajakanya.. kuterawang langit diatasku sambil berbaring..

“kau tau Dias?, ketika kau menceritakan Negeri-Negeri itu aku pun ingin melihatnya. Bagaimana gedung yang setinggi gunung bisa berdiri, kuingin melihat lautan manusia disana, teknologi yang mereka punya, dan buku-buku koleksi mereka yang katamu tidak ada di perpustakaan kita, jika kau ingatkan lagi tentang itu benar-benar ingin segera kukunjungi tempat kau belajar itu.. apa lagi setelah ceritamu tentang gadis-gadis dengan rambut emas dan mata biru itu… haaahhh kuhanya bisa bayangkan.. tapi Dias, kau tentunya sudah mengenalku dan aku tidak mungkin membiarkan ibuku sendirian di masa tuanya, dia sedang sakit dengan keluhan sakit kepala tiada tertahan, tak baik aku sebagai anak meninggalkanya sendiri” jawabku dengan lesu, karena harus mengecewakan Dias, dan diriku sendiri.
Kulihat Dias yang meminum air kelapa miliku, dia minum seperti orang yang mabuk arak, membuat tumpahan air kelapa itu mengguyur wajah bersihnya… dia geserkan duduknya dan berbaring disampingku…

“ya aku paham betul dengan keadaanmu kawan, tak perlulah terburu-buru. Kau harus rawat ibumu dulu. Aku Cuma bisa berharap suatu saat nanti kau akan bisa disana melihat bagaimana mimpi masa kecil kita terwujud.. bukankah kau yang bilang bahwa kau ingin sekali melihat London dan memandang sungai Thames dan seisi kota London dari Tower Bridge?.. aku tidak tau denganmu tang, setelah kau janjikan itu padaku. tapi kuyakin akan kau tepati.. segera setelah kesempatan itu datang, akan kutunggu kau disana” ujar Dias dengan wajah berbinar, dia selalu begitu.. bersemangat dan bergairah, dia adalah orang yang selalu berbagi denganku entah berbagi suka atau duka.

“aku ini orang yang tidak pernah pergi jauh, tidak pernah kapal yang kunaiki melebihi batas cakrawala, jangankan London. Pulau jawa yang masyur pun belum pernah kuhampiri.. tapi Dias.. tidak akan kutarik ucapanku, aku adalah lelaki. pantang buatku ingkar dalam janji. Kau harus bersabar disana, sampai saat itu datang. Mau kah kau menunggu sedikit lebih lama?” kataku menimpali Dias.

“bahkan jika harus menunggu 30 tahun asalkan kau janjikan itu akan kutunggu” ucap dias dengan berdiri dan berjalan kesebuah dermaga kecil tempat kapal ikan biasa menurunkan jangkar..
Kuikuti Dias, dia berlari pelan disepanjang papan-papan usang itu. Sekali lagi keindahan itu kulihat, saat dias berlari dibawah remang senja jingga, laut ini memantulkan sinar mentari yang mulai malas. Dia pelankan langkahnya dan memutarkan badan, kulihat senyum yang samar dari wajahnya karena back light dari Dias yang membelakangi sunset dibelakangnya..
23 tahun usiaku, dan mungkin selama itu juga aku bersamanya. Semenjak lahir kami bertetangga, dan dari kecil kami bersama. Dias, kau adalah pengembara seperti moyangmu yang puluhan atau ratusan tahun lalu bermigrasi kemari. Ke tanah harapan katulistiwa, sekarang kau juga ikuti jejak mereka untuk mencari tanah harapanmu sendiri.

Sejak lama kukesampingkan perasaan gemuruh ini, kukira semenjak kau pergi perasaan ini akan hilang, tapi justru sebaliknya. Kembalimu ke tanah ini malah membuat hati ini makin terpikat, lalu apakah hati ini akan lelah lagi?, karena kau yang tak lama bertahan disini…

---
Aku merenung di batas dermaga, menikmati malam dengan mega penuh lintang, kulihat kelip lampu dari laju perahu nelayan yang mendayu ditengah pasang gelombang.. kurasakan hembusan angin yang basah, aroma garam dan amis ini akan kurindu….
kunikmati hisapan racun yang kusukai, lintingan kertas dan tembakau menjadi candu sepertimu Dias, atas rindu yang kau titip kepada hati yang tidak beradu.

Aku telah menunggu lama, walau tidak 30 tahun seperti katamu dulu. Ibuku sudah ridho atas keputusanku menyusulmu di tanah Eropa. Seperti aku yang ridho ketika ibuku harus kembali ke Rahmatullah. Sengaja kutunggu fajar, agar kuingat lagi dan lagi, agar tidak kulupa dimana tanah asal aku berasal… sudah tekadku kali ini, melunasi janjiku.. di tanjung yang kunamai Tanjung Janji ini…

“Dias, baiknya kau sudah menungguku di Tower Bridge, sudah kunanti lama untuk dapat bertemu denganmu.. kulewati 4 kali musim hujan dan kemarau disini, dan sudah kau nanti juga selama 16 musim disana. Aku akan segera sampai ke tanah harapan kita”

Tanjung Janji
[Bersambung]
Share:

0 komentar:

Posting Komentar