-Tanjung Janji-
“Kuajak kalian berkelana, meninggalkan Jawadwipa yang selalu menjadi
latar tulisanku. Bersamaku kalian akan menjajaki sebuah tempat di pulau
seberang, sejenak mari lupakan gunung, pohon pinus dan sawah.Ayo pergi
dari tanah jawa untuk sebentar saja, dan kita berkunjung ke lautan luas,
pohon nyiur, pantai yang panjang, dan pulau yang bergugus. Mari kita
ganti gelar priyayi menjadi datuk. Kita akan kunjungi seorang kawan yang sedang berjuang di bumi Andalas”
-WN-
Follow ig:
@wn.naufal, Blog:
wnnaufal.blogspot.com
-------------
Tanjung Janji
Bertapa pilu, berteman rindu
Dimanakah kamu gadis bermata lugu?
Secarik doa terbaiat.
Segenggam harapan berkelebat.
Kutunggu dia sang penjanji
Untuk tempat hati berhenti
-Bentang Samudera
-----
“Dias!!” teriaku kepada perempuan yang mulai mendayung sampan di pinggir sebuah tanjung di kampung kami itu...
Gadis itu menoleh dan melambaikan tangan sambil berteriak
“Bentang!!,kau ini macam hantu ja, sejak kapan kau disitu?!” serunya sambil menepikan perahu kecil dari kayu
teruntum itu...
“siapa kira kau datang secepat ini, tiada selembar kabar pun terlayang,
kalau tidak ada anak dusun yang berkata kau sudah pulang, maka hari ini
tentunya aku sudah bekerja seperti biasa” jawabku yang masih terengah
mengatur nafas karena berlari menuju batas pantai...
Dia masih sama saja, tiada berubah raut wajah itu.. mata terpicingnya
bukan karna menahan sinar pagi. Tapi dia memang selalu begitu dengan
mata sipitnya...
“haha ya maafkan aku ini Bentang, bukan berarti lupa padamu kawan. Hanya
saja ingin kucoba sebaik apa ingatanmu. Dan kau ini memang tak pernah
berubah,selalu luput dengan janji:” ujaranya dengan langkah kecil,
kaki-kakinya berlari ringan diatas pasir putih pantai ini..
“baru saja aku ingin berenang, tapi kau sudah terburu kesini” kata gadis bernama Dias itu.
“kau pulang jauh-jauh menempuh jarak panjang hanya untuk ini??” tanyaku dengan terheran.
“apalagi yang buat kurindu?, pantai disana tak seindah disini. Disana
berbau besi berkarat dan airnya terasa berlendir di kulit” ucapnya
sambil terduduk di hamparan putih pasir laut ini...
Kududuk disampingnya, kulempar pandangan mata kebatas cakrawala
didepanku. Dias benar, tak ada pantai selain disini... bening sangat
airnya, terpantul bias sinar kemilau tiap mata memandang kelaut, debur
tenang ombak dan semilir sejuk angin berbau garam ini selalu sedap
dinikmati, tambah lagi pantai sepi ini mempunya pohon nyiur yang tak
terhitung jumlahnya, tak perlu kau keluarkan rupiah untuk meminumnya,
kau hanya butuh parang dan keterampilan memanjat untuk menikmati sebutir
kelapa dengan sensasi rasa soda ini..
Dari jauh kulihat perahu uwakku sudah terkembang layarnya dan bersiap
menyongsong laut untuk menangkap hasil pancinganya. Kuurungkan niatku
untuk bekerja pagi tadi, karena kudengar kabar tentang kedatangan kawan
lama yang sudah begitu kunanti kepulangannya...
Lihatlah dia yang makin elok, rambut yang dulu dia potong agar nampak
serupa pemuda kampung kami, kini tergerai sepangkal leher, tak lagi dia
pakai celana pendek lusuh dengan tambal sulam disana-sini, kaos
kedodoran dengan robekan sepanjang ketiak juga sudah tidak lagi dia
kenakan....
Satu hal yang tak pernah berubah sekali saja adalah kulit putih dan mata sipitnya, gadis keturunan
Tionghoa
ini tetap putih, meski sedari kecil sudah terpanggang matahari di
kampung terpencil yang kutempati...Dias, kini kau nampak anggun sekali
...
“hei Bentang.. tak rindu kah kau denganku?, sudah 3 Tahun tak jumpa
seperti ini” kata dia dengan membersihkan sisa pasir yang tertempel
basah di kakinya..
“siapa yang tidak rindu denganmu Dias, kita sudah berkawan sedari kecil.
Sejak kau merajut mimpi di negeri itu, tidak seharipun aku tak rindu,
sering ku termenung bosan didermaga sekedar menunggu petugas pos membawa
kabar darimu” jawabku sambil memungut cangkang tiram yang tertelungkup
disamping tanganku..
Dias menghela nafas panjangnya, tanganya dia tengadahkan kelangit dan
senyum lebar tersungging diwajahnya yang mulai terlihat kemerahan. Gadis
ini tidak menghitam kuitnya walau tersentuh panas matahari selama
berjam-jam, dia hanya akaan terlihat bersemu merah. Seperti kepiting
yang direbus... dia rebahkan dirinya di pasir sambil memejamkan matanya
yang kecil...
“senang sekali akhirnya aku sampai juga kesini tang, akupun menahan
rindu kepadamu, aku ingin seperti dulu, berenang dan menyelam, mencari
kepiting dan teripang seperti dulu”
“kalau seperti itu baiklah, ayo jangan tunggu waktu lama, sebelum
matahari meninggi sebaiknya kita cari kepiting dan rajungan untuk makan
kita siang ini” ujarku dengan meloncat dari duduku..
“dias, ayoo” kataku sekali lagi karena gadis itu hanya memandangku dengan tubuh tetap terbaring di pasir...
“sebentar,kutunjukan padamu sesuatu yang menarik” kata gadis bertubuh tinggi itu...
Apa yang dia lakukan?? Dia membuatgerakan tangan sepert burung yang
mengepakan sayap, kakinya membuat gerakan menggunting.. aku belum paham
sama sekali sampai dia berdiri dari baringanya...
“ini adalah Peri pasir” kata dia sambil menunjukan bekas cekungan pasir
basah yang dibuat dari gerakanya tadi, membuat bentuk pola yang aneh..
“ohhh.. ya, apalah itu terserah kau saja dias, aku tidak pernah paham apa yang kau bicarakan”
Jawabku dengan asal seraya berlari menyongsong sampan yang dia ikatkan kesebuah tonggak bambu yang tertancap di pantai..
Sebernarnya aku paham, apa yang di maksud Dias adalah Peri Salju,
kebiasaan budaya orang barat tiap musim salju datang, tapi memang aku
sering begitu, sering berpura-pura tidak paham agar Dias menerangkan
dengan panjang lebar hal-hal yang tidak kuketahui, tentang dunia diluar
sana, tapi hari itu aku simpan masalah peri pasir tadi untuk bagian
terbaiknya, yaitu berenang, memancing dan menyelam di laut tenang pulau
ini., bersama Dias tentunya...
Kugulung tambang pengikat itu dan kulempar kedalam sampan, dan sampai
kulihat entah sejak kapan Dias sudah duduk diatas perahu yang bahkan
belum terapung di air itu..
“kaui ingat kan tang? Dulu tiap kita melaut kau selalu mendorong sampan
dengan aku yang suda duduk didalamnya, baiknya jangan kita lupakan
kebiasaan itu” ujarnya dengan senyum manisnya, terlalu manis bahkan..
untuk gadis dengan sikap kelaki-lakian yang dulu kukenal...
Kudorong sampan itu tanpa menyanggah ucapan Dias, dan begitu terapung
perahu kecil itu, kudayungnya menuju ketengah laut. Dias duduk
menghadapku,dengan matanya melirik keair yang melewati sisi sampan yang
meruncing. Kata dias desain sampan yang paling baik adalah yang runcing
seperti ini,hidrodinamis untuk membelah air agar perahu bisa melesat
dengan lancar...
Dias adalah temanku semenjak sekolah dasar,sampai lulus sekolah menengah
atas.. jika bukan dengan dia aku berkawan, mungkin aku akan berakhir
sama dengan mayoritas pemuda kampungku.. sebatas tamatan SD, dengan
pekerjaan tak jauh dari juru panggul beras di pelabuhan. Beruntung aku
bisa bersekolah sampai bangku SMA, walau harus kutempuh dengan bersepeda
sejauh 30 KM ditambah memboncengakan Dias, tapi smua berakhir baik.
Paling tidak pekerjaanku dengan ijazah SMA sedikit lebih bergaji dari
pada kawanku yang tidak seberuntung aku. Kuingat waktu itu, saat aspal,
listrik dan peradaban yang sudah kalian nikmati sejak lahir belum mampu
kami rasakan. Kami bersepeda menerjang panas dan hujan, perjalanan jauh
membuat betisku makin berurat, udara panas pesisir membuat kulitku
menghitam legam, ditambah keringat yang deras membuat diriku nampak
mirip betul dengan sebuah patung kayu ebony yang di pliture.
Tidak ada siswi sebaik Dias. pengetahuanya tentang belahan bumi lain
diluar pulai kami jauh melebihi kami, tak tau lah dapat dari mana dia
tentang nama-nama kota yang asing ditelingaku itu.
Liverpool, London, dan apa lagi aku tak ingat betul apa yang dia lanturkan waktu itu. Dias itu adalah perpustakaan berjalanku.
Dias selalu menemaniku, rumah kami bersebelahan, tidak heran jika aku dan Dias sangat dekat
Dias mengajariku banyak hal, bahwa dunia itu luas.. terlalu luas untuku
menghabiskan sepanjang hayat di kampung yang hampir tidak terpeta ini...
Angin bertiup, membuat rambutnya berkibar, untuk sejenak jantungku
berdegup. Aneh rasanya dan terasa asing, gadis di depanku ini apakah
benar jelmaan Dias? Kenapa kecantikanya begitu terasa setelah sekian
lama tak berjumpa?, kuakui sejak dulu bahwa Dias sebenarnya adalah gadis
yang cantik, tapi semua tertutup oleh sifat anehnya, dia tak segan
berkelahi dengan pemuda kampung yang berbadan besar, dia adalah penyelam
nomer wahid di kampung kami, keahlianya selain menyelam adalah memanjat
pohon kelapa. Seperti beruk yang sangat lincah, dan sepak bola serta
pencak silat aliran harimau sumatra adalah olah raga andalanya. Selama
bertahun-tahun kecantikan fisiknya seolah tertimbun sikapnya yang serba
tidak mau tahu itu.. tapi kali ini, kurasakan dia bukan lagi Dias yang
kukenal, kecantikanya begitu terpancar. Sebanding dengan laut yang
membiru dan langit yang bersih tak berawan ini, membuat keindahan yang
terasa padu...
“ada apa tang?, kau ini macam melihat lauk ditengah puasa saja” kata dias yang membuat lamunanku terhenyak..
“haha, ya.. ku hanya ingin tau, dari mana kawanku ini belajar bersolek?,
kuingat bahkan masa SMA sekalipun gincu yang ibumu belikan tidak pernah
tersentuh bibirmu”
“haha, yaa semenjak menginjakan kaki disana aku tau tang, bahwa aku harus berubah. Kau ingat petuah Pak Safei kepada kita dulu?
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,
disana bukan tanah melayu, jadi mau tidak mau aku harus merubah diri,
apa perubahanku terlihat aneh buat kau?” jawab Dias sambil memainkan
rambut panjangnya.
“ahh, aku samasekali tidak keberatan.. kita sudah dewasa, sudah patutnya kita berubah” jawabku dengan mendayung sampan..
“benarkah itu tang?, kutinggalkan kau selama 3 tahun merantau tapi tak
banyak berubahnya sama sekali, selain kulitmu yang makin menghitam itu”
dia mengolok sambil terbahak..
“apakau tak lihat badanku yang kian kekar ini?” jawabku sambil menunjukan otot-ototku yang terlihat menonjol..
“Dias, ceritakan padaku.. tentang tempatmu disana, apakah benar seindah
yang kau tulis dalam surat-suratmu itu?” tanyaku kepada dias. Aku selalu
senang mendengar ceritanya, dia adalah
presenter kesukaanku, jika dibandingkan dengan pembawaacara di program Dunia Dalam Berita milik TVRI tentunya Dias jauh lebih baik.
“aku sebenarnya tak mau menceritakanya tang” jawabnya pelan
“eeii, kenapa pula? Seingatku kegemaranmu itu bercerita kan?” kataku dengan nada yang kecewa..
“karena aku tak sekedar ingin menceritakan padamu tang, aku ingin
menunjukanya. Ingatkah kau? Tentang janjimu sendiri, bahwa kita akan
kesana bersama? Jangan buat nama yang diberikan orang tuamu mubazir.
Dengan sepanjang umur berdiam disini, tengoklah disana, di batas mata
kita bisa memandang ternyata ada gedung, ngarai, pemukiman, teknologi,
dan semua yang jarang kita lihat.. tang... aku akan kembali kesana, tapi
kuharap bersamamu aku akan kesana lagi. Jadilah seluas namamu...
Bentang samudera”
Byurr!!!! Dias mengakhiri bicaranya dengan bersalto dari atas sampan yang membuatku teroleng diatasnya.
Tidak langsung kuikuti Dias yang sudah menyelam sangat cepat, seperti
ikan kerapuh menyambar mangsa itu.. kutertegun untuk sekejab, dalam
mengartikan cakap katanya barusan...
“kenapa kau selalu teringat tentang hal itu Dias? Tentang janji kita di
tanjung ini?” sesalku dalam hati karena belum mampu memenuhi janji yang
sudah terikrar dari lisanku.
Ibuku, adalah orang yang membuatku tidak bisa menjejakan kaki selain di
sejengkal tanah pulau ini.. ibuku sudah cukup renta, menjadi janda
puluhan tahun tidak lah mudah.. semenjak aku belum terlahir bapak sudah
meninggal.. kini tinggal aku si pemuda berkepala dua yang harus merawat
ibuku yang tengah mengeluh sakit vertigo yang sering kumat....
“Jika saja waktu mengizinkan, tak perlu kutunggu lama Dias.. untuk menjemputmu....”
Kuahiri gumamanku dan terjun kedalam air.. air laut yang bergaram ini
tidak lagi membuat mataku terpedih, karana aku adalah manusia yang sejak
lahir berteman dengan air asin.. kulihat pemandangan bawah air yang
semburat bening bercampur biru,
anemon itu bergerak memanja, kumpulan
clonfish berlindung didalamnya, sebaris ikan
pelagis
bergerak statis mengjhndari kami yang dikira predator bagi mereka.. ini
adalah surga dunia menurut versi ku.. dimana warna yang terhimpun
membuat bentuk abstrak nan indah didalamnya. Kuamati keindahan dari
terbatasnya indra mataku yang terhalang air... kuamati lagi dan
keindahan lain sudah terlihat..
“Dias” kuucap nama itu dalam air, tapi bukan suara yang terdengar
melainkan bunyi “Bloooppp” dan bola-bola udara yang naik kupermukaan..
kupaksa paru-paruku bekerja ekstra untuk menahan hampa tanpa oksigen,
kutahan telingaku yang terkena presure dari tekanan air yang mengepung
dari segala penjuru... untuk apa?? Yaa karena baru kulihat keajaiban,
dan kuingin melihatnya lebih lama..
Dias, dia memang seperti lahir tanpa paru-paru, kemampuanya menahan
nafas adalah yang terbaik di kampung.. dia seolah melayang diudara yang
terasa padat di kulit, dia terbang dan meliuk-liuk di dalam air..
membuat tarian seperti bidadari...
“subhanallah” adalah kata yang terucap secara tidak sengaja, menimbulkan
bunyi “blooop” sekali lagi, dan semakin mengurangi oksigen yang
berharga keluar dari paru-paruku.
Kuterhenyak merasakah dada yang sesak. Dan menghentakan kakiku untuk meluncur kepermukaan..
“haaahhh.. haaaahhh” kuatur napas yang terasa habis. Kuseka wajah yang
tergenang air, menahan silau dari tengadahku menghadap mentari...
Sampai sebuah kepala menjembul dari dalam air....
“kau ni, selama itu didalam air tak terlihat napasmu memburu” kataku kepada Dias, yang tertawa kecil melihatku kewalahan...
“percuma kau bekerja di kapal besar. Tahan napas pun kau kepayahan” ucapnya mencibir..
“kau tunggulah disampan, dan siapkan kail.. aku mau ambil dulu sesuatu
didasar pasir” kata dias dengan menghirup nafas panjang lalu tenggelam
lagi.. menuju dasar laut sedalam 10 meter ini, terlihat dia dari
permukaan bergerak anggun didalam air. Seperti mempercantik gugusan
brain corral yang tumbuh jamakdi bawah sana..
Kutarik badanku dan terjembab masuk kedalam sampan, segera kuraih kail
dan memasang umpan buatan. Nampaknya ini akan jadi hari keberuntungan
buat kami... gumamku dengan harap-harap kecil...
----
Kami buat perapian kecil di lindungan teduhnya pohon cemara udang,
beberapa butir kelapa muda hasil panjatan Dias sudah kukupas kulitnya…
Kami menikmati hari itu, seperti sudah lama sekali sejak perpisahan
selama 3 tahun antara aku dan Dias.. kulihat dia bertambah menawan
secara tampilan, namun tabiatnya tidak akan berubah, dia masih sama
saja. Terutama dari bagaimana cara dia makan. Hari itu kami menyantap
beberapa hasil tangkapan kami. Seperti, gurita, teripang, beberapa
rajungan dan ikan-ikan sere seukuran bungkus rokok. Kulihat bagaimana
lahapnya gadis perawan itu dalam bersantap seolah dia sudah berpuasa
sangat lama..
“Tang, aku tidak akan lama disini, aku harus segera kembali sebelum masa
perkuliahanku selesai. Apa sekali lagi kau akan mengecewakanku dengan
tidak ikut bersamaku? Disana kau akan dapat
poundsterling yang banyak dengan keahlianmu didalam geladak kapal” ucap Dias sambil mengeruk daging kelapa…
Aku terdiam, tidak langsung kujawab kaliamat ajakanya.. kuterawang langit diatasku sambil berbaring..
“kau tau Dias?, ketika kau menceritakan Negeri-Negeri itu aku pun ingin
melihatnya. Bagaimana gedung yang setinggi gunung bisa berdiri, kuingin
melihat lautan manusia disana, teknologi yang mereka punya, dan
buku-buku koleksi mereka yang katamu tidak ada di perpustakaan kita,
jika kau ingatkan lagi tentang itu benar-benar ingin segera kukunjungi
tempat kau belajar itu.. apa lagi setelah ceritamu tentang gadis-gadis
dengan rambut emas dan mata biru itu… haaahhh kuhanya bisa bayangkan..
tapi Dias, kau tentunya sudah mengenalku dan aku tidak mungkin
membiarkan ibuku sendirian di masa tuanya, dia sedang sakit dengan
keluhan sakit kepala tiada tertahan, tak baik aku sebagai anak
meninggalkanya sendiri” jawabku dengan lesu, karena harus mengecewakan
Dias, dan diriku sendiri.
Kulihat Dias yang meminum air kelapa miliku, dia minum seperti orang
yang mabuk arak, membuat tumpahan air kelapa itu mengguyur wajah
bersihnya… dia geserkan duduknya dan berbaring disampingku…
“ya aku paham betul dengan keadaanmu kawan, tak perlulah terburu-buru.
Kau harus rawat ibumu dulu. Aku Cuma bisa berharap suatu saat nanti kau
akan bisa disana melihat bagaimana mimpi masa kecil kita terwujud..
bukankah kau yang bilang bahwa kau ingin sekali melihat
London dan memandang sungai
Thames dan seisi kota
London dari
Tower Bridge?..
aku tidak tau denganmu tang, setelah kau janjikan itu padaku. tapi
kuyakin akan kau tepati.. segera setelah kesempatan itu datang, akan
kutunggu kau disana” ujar Dias dengan wajah berbinar, dia selalu
begitu.. bersemangat dan bergairah, dia adalah orang yang selalu berbagi
denganku entah berbagi suka atau duka.
“aku ini orang yang tidak pernah pergi jauh, tidak pernah kapal yang
kunaiki melebihi batas cakrawala, jangankan London. Pulau jawa yang
masyur pun belum pernah kuhampiri.. tapi Dias.. tidak akan kutarik
ucapanku, aku adalah lelaki. pantang buatku ingkar dalam janji. Kau
harus bersabar disana, sampai saat itu datang. Mau kah kau menunggu
sedikit lebih lama?” kataku menimpali Dias.
“bahkan jika harus menunggu 30 tahun asalkan kau janjikan itu akan
kutunggu” ucap dias dengan berdiri dan berjalan kesebuah dermaga kecil
tempat kapal ikan biasa menurunkan jangkar..
Kuikuti Dias, dia berlari pelan disepanjang papan-papan usang itu.
Sekali lagi keindahan itu kulihat, saat dias berlari dibawah remang
senja jingga, laut ini memantulkan sinar mentari yang mulai malas. Dia
pelankan langkahnya dan memutarkan badan, kulihat senyum yang samar dari
wajahnya karena
back light dari Dias yang membelakangi
sunset dibelakangnya..
23 tahun usiaku, dan mungkin selama itu juga aku bersamanya. Semenjak
lahir kami bertetangga, dan dari kecil kami bersama. Dias, kau adalah
pengembara seperti moyangmu yang puluhan atau ratusan tahun lalu
bermigrasi kemari. Ke tanah harapan katulistiwa, sekarang kau juga ikuti
jejak mereka untuk mencari tanah harapanmu sendiri.
Sejak lama kukesampingkan perasaan gemuruh ini, kukira semenjak kau
pergi perasaan ini akan hilang, tapi justru sebaliknya. Kembalimu ke
tanah ini malah membuat hati ini makin terpikat, lalu apakah hati ini
akan lelah lagi?, karena kau yang tak lama bertahan disini…
---
Aku merenung di batas dermaga, menikmati malam dengan mega penuh
lintang, kulihat kelip lampu dari laju perahu nelayan yang mendayu
ditengah pasang gelombang.. kurasakan hembusan angin yang basah, aroma
garam dan amis ini akan kurindu….
kunikmati hisapan racun yang
kusukai, lintingan kertas dan tembakau menjadi candu sepertimu Dias,
atas rindu yang kau titip kepada hati yang tidak beradu.
Aku telah menunggu lama, walau tidak 30 tahun seperti katamu dulu. Ibuku sudah
ridho atas keputusanku menyusulmu di tanah Eropa. Seperti aku yang
ridho
ketika ibuku harus kembali ke Rahmatullah. Sengaja kutunggu fajar, agar
kuingat lagi dan lagi, agar tidak kulupa dimana tanah asal aku berasal…
sudah tekadku kali ini, melunasi janjiku.. di tanjung yang kunamai
Tanjung Janji ini…
“Dias, baiknya kau sudah menungguku di
Tower Bridge, sudah
kunanti lama untuk dapat bertemu denganmu.. kulewati 4 kali musim hujan
dan kemarau disini, dan sudah kau nanti juga selama 16 musim disana. Aku
akan segera sampai ke tanah harapan kita”
Tanjung Janji
[Bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar